Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 Juni 2009

Persamaan dan Perbedaan KBK dengan KTSP


Oleh: Damaskus Beny


Persamaan KBK dan KTSP:
A. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah kurikulum yang bertujuan untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun identitas budaya dan bangsanya. Kurikulum ini dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan, keterampilan, pengalaman belajar yang membangun integritas sosial, serta membudayakan dan mewujudkan karakter nasional.
B. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Akantetapi baik KBK maupun KTSP memilki tujuan yang sama terhadap kemajuan dunia pendidikan di indonesia yaitu sama-sama bertujuan untuk menciptakan sumber daya manusia indonesia yang berkompeten dan cerdas dalam membangun identitas budaya dan bangsa, berbudi pengerti yang luhur, serta bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perbedaan KBK dengan KTSP:
A. Kurikulum Berbasis Kompetensi (Depdiknas 2002) memiliki karakteristik sebagai berikut:
Ø Pencapaian kompetensi siswa (individual/klasikal)
Ø Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman
Ø Penyampaian pembelajaran dengan pendekatan dan metode bervariasi
Ø Sumber belajar guru dan sumber lainnya yang memenuhi unsur edukatif
Ø Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar (penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi)
Ø Menggunakan sistem sentralisasil penuh dari pusat

B. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Ø Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan
Ø Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan.
Ø KTSP sangat memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan siswa.
Ø KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat dan memberatkan kurang lebih 20%.
Ø KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan.

Menurut hasil diskusi kelompok kami kedua kurikulum tersebut sama-sama mempunyai tujuan yang baik untuk memajukan pendidikan Indonesia. Akan tetapi dari sisi sistem dan proses pelaksanannya di lapanagan kelompok kami menganggap dan berpendapat bahwa Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan lebih baik untuk di terapkan di Indonesia. Sistem dan prose yang digunakan oleh KTSP adalah sistem desentralisasi atau otonomi pendidikan dimana setiap sekolah-sekolah di seluruh indonesia diberi kebebasan untuk mengembangkan dan menyusun sendiri muatan-muatan mata pelajaran dan pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing setiap sekolah.
Dengan demikian KTSP menekankan pada proses kontekstual dalam pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan lingkungan serta dunia kerja. Bila dibandingkan dengan KBK dimana sistem yang diterapkan oleh KBK adalah sistem sentralisasi yang semua perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran disusun dan dilaksanakan semuanya berdasarkan ketentuan dari pusat, tanpa mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan sekolah serta siswa di lapangan.

Rabu, 06 Mei 2009

WACANA EVALUASI UN OLEH DPR RI


Oleh: Damaskus Beny


Baru-baru ini berhembus wacana dan polemik mengenai penerapan UN di negeri ini. DPR konon akan mengevaluasi kebijakan pemerintah mengenai penyelengaraan sistem pelaksanaan UN selama ini. Hal ini karena dipicu oleh banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan oleh sistem UN yang diterapkan oleh pemerintah, termasuk kecurangan dan kebocran soal seperti pelaksanaan UN baru-baru ini. DPR akan menjajaki adanya kemungkinan Ujian Nasional SMP/SMA sederajat akan diubah seperti sistem yang diterapkan pada ujian Sekolah Dasar.
Seperti yang kita ketahui bersama dalam Ujian Nasional tingkat SMP/SMA sederajat tingkat kelulusan siswa sangat ditentukan oleh nilai mata pelajaran dalam UN. Sementara nilai mata pelajaran lainya yang digeluti selama tiga tahun menjadi terabaikan. Di sisi lain peran aktif guru atau pendidik yang selama tiga tahun mendidik dan menganyomi peserta didiknya tidak dilibatkan dalam menentukan kelulusan peserta didik mereka.
Angota komisi X DPR yang memperhatikan pelaksanaan dan penerapan UN menemukan sampai saat ini tidak mengalami perbaikan terhadap output pendidikan di indonesia (Kompas, 1 Mei 2009: 12). Fenomena seperti ini mengindikasikan bahwa penerapan kebijakan UN yang diterapkan oleh pemerintah terlalu memaksakan kehendak. Pemerintah terlalu konsen pada hasil akhir atau standar penilaian, tidak pada proses untuk memenuhi dahulu standar-standar lain sebelum penerapan standar penilaiaan sebagaimana yang disampaikan oleh Heri Akhmadi, wakil ketua komisi X DPR di jakarta, (kamis 30/4)
Selama ini semejak pemerintah menerapkan kebijaka penerapan sistem UN yang dimulai pada tahun 2004 memang banyak menuai pro dan kontra di dalam kalangan masyarakat, akan tetapi pemerintah tetap bersikeras dengan kebijakan penerapan UN tersebut. Adanya wacana DPR RI untuk mengevaluasi kembali penerapan UN di negeri ini setidaknya mendapat aplus dan sambutan hangat di kalangan masyarakat indonesia apalagi bagi orang tua yang putra-putrinya pada saat ini masih berada pada posisi SMP/SMA sederajat.
Bagi pendidik atau guru-guru, wacan pengevaluasian UN oleh DPR RI ini akan sedikit memberikan angin segar dan harapan bagi mereka untuk ikut secara aktif berperan dalam menentukan kelulusan peserta didik mereka. Betapa tidak semejak pemerintah menerapkan kebijakan sistem pelaksanaan UN, mereka tidak diikutsertakan dalam melakukan penilaian terhadap peserta didik dalam menentukan kelulusan. Padahal esensi dari pendidikan itu bukan sekedar di tinjau dari sisi kognitif siswa saja melainkan dari sisi Apektif dan Psikomotor juga menjadi bagian yang seharusnya diperhatiakan. Akan tetapi selama ini kebijakana pemerintah dalam penerapan sistem UN sudah membunuh dua sisi ensensi dari pendidikan yaitu sisi Apektif dan sisi Psiomotor. Mengapa dua sisi tersebut telah diabaikan karena sistem UN hanya berpatokan pada hasil Ujian saja (sisi kognitif) tanpa memperhatikan kedua sisi tersebut. Kalau keadaan seperti ini terus berlanjut, terus mau dikemanakan regenerasi penerus bangsa ini akan dibawa ..??? semoga wacana DPR RI untuk mengevaluasi UN bukan hanya sekedar wacana saja, melainkan bisa betul-betul diperhatikan demi kebaikan, kemajuan dan kecerdasan bangsa ini.

Rabu, 29 April 2009

UN CIPTAKAN KETIDAKADILAN


Oleh: Petrus Darwin
Mahasiswa PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Walaupun banyak menuai pro dan kontra tentang pelaksanaan ujian nasional, pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Bambang Sudibyo, tetap akan menyelenggarakan Ujian nasional (UN) pada tahun 2009, bahkan untuk tahun ini standar kelulusan dinaikan menjadi 5,50.
Pertanyaan bagi kita, Apakah langkah yang diambil oleh pemerintah dalam pelaksanaan ujian nasional dengan mematok standar kelulusan yang tinggi mutu pendidikan kita akan semakin baik?
Memang benar seperti yang telah kita ketahui selama ini, sejak ditetapkanya keputusan menteri pendidikan nasional No.153/U/2003, tentang ujian akhir nasional, bahwa salah satu tujuan diselenggarakanya ujian nasional adalah untuk mengukur kualitas pendidikan di tanah air serta mengukur pencapaian hasil belajar siswa. tetapi apabila kita bercermin pada pelaksanaan UN pada tahun-tahun sebelumnya, ternyata pelaksanaan ujian nasional masih menyisakan banyak masalah, dan boleh di katakan gagal dalam memperbaiki kualitas pendidikan kita.
Jika pemerintah ingin memperbaiki kualitas pendidikan di tanah air, tidak cukup hanya menaikan nilai yang tinggi dalam UN, tanpa peningkatan dan memperhatikan aspek yang lain. Menurut penulis Yang lebih penting dilakukan oleh pemerintah dalam memperbaikai kualitas pendidikan saat ini adalah benahi dulu permasalahan-permasalahan dasar yang terjadi dalam bidang pendidikan, seperti masalah pembangunan infrastruktur/sarana dan prasarana sekolah, misalnya gedung sekolah yang sudah tidak layak pakai perlu direnovasi demi kenyamanan siswa dalam belajar, menyediaan fasilitas yang mendukung dalam kegiatan belajar mengajar dikelas (buku paket/sumber belajar yang lengkap dan media pembelajaran yang memadai), serta penyediaan tenaga Guru/pengajar yang cukup dan berkualitas dalam suatu sekolah. Kalau semua itu telah dibenahi oleh pemerintah, tidak menutup kemungkinan mutu pendidikan kita akan semaikn baik dan standar kelulusan yang tinggi dapat di capai oleh siswa. Sebab pertanyaannya bagi kita, bagaimana mungkin standar kelulusan 5,50 bisa di capai oleh siswa , jika dalam suatu sekolah gedungnya bocor dan ruang belajarnya rusak parah dan hampir ambruk, apakah suasana belajar dikelas akan berlangsung dengan baik, dan bagaimana mungkin apabila sarana dan prasarana penunjang dalam kegiatan belajar mengajar di kelas sangat minim, apakah guru bisa menyampaikan materi pelajaran dengan efektif, serta bagaimana mungkin juga jika dalam suatu sekolah hanya di ajarkan oleh satu atau dua orang guru, seperti yang terjadi di sekolah-sekolah yang ada di daerah pedalaman saat ini, Apakah para siswa bisa optimal dalam menerima pelajaran? Apakah mereka itu sama siapnya dengan siswa-siswi di sekolah favorit yang ada di kota besar dalam mengikuti UN?. Hal ini lah tampaknya yang belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah pusat. Saat ini pemerintah hanya bisa mematok nilai yang tinggi dalam UN tanpa pernah memikirkan dan memperhatikan aspek yang lain. Menurut penulis kalau pemerintah mau menyelenggarakan ujian nasional, standar kelulusan tidak boleh di samaratakan di seluruh indonesia, tetapi harus ada pembedaan antara daerah yang mutu pendidikannya rendah dengan sekolah yang mutu pendidikannya lebih baik/maju, agar tercipta keadilan dalam dunia pendidikan.
Kita semua tentu setuju dan mendukung langkah yang diambil oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di indonesia, tetapi tentu dengan cara yang bijaksana dan tidak menimbulkan masalah baru. Selama ini pernahkah pemerintah memikirkan akibat yang ditimbulkan dari pelaksanaan UN?, padahal Apabila kita bercermin pada pelaksanaan UN tahun-tahun sebelumnya, banyak permasalahan yang terjadi, misalnya banyak siswa yang mati bunuh diri gara-gara tidak lulus UN, banyak siswa yang stres dan tertekan, banyak pahlawan yang namanya Guru digrebek oleh polisi gara-gara guru dituduh membocorkan soal UN kepada anak didik. Dan masih banyak masalah-masalah lain berkaitan dengan pelaksanaan UN.
Kini pelaksanaan UN tahun 2009 sudah diambang pintu, para siswa sudah mulai sibuk mempersiapkan diri, berbagi cara telah dilakukan oleh para siswa mulai dari les, tes dan bimbingan belajar lainnya. siang malam tak sempat tidur nyenyak, siswa yang akan menempuhnya terasa pusing, was-was dan cemas, bagaimana tidak, bayangkan saja jerih payah selam 3 tahun berjuang, nasib mereka hanya di tentukan dengan hitungan jam saja oleh kebijakan pemerintah yang namanya UN. Pelaksanaan UN banyak menelan korban dan biaya, bayangkan saja berapa ratus ribu nantinya siswa SLTP tidak bisa melanjutkan ke SLTA, dan sebaliknya juga para siswa SLTA tidak bisa masuk keperguruan tinggi, terutama para siswa yang tinggal di daerah pedalaman, gara-gara mereka tidak lulus UN. Mereka telah kehilangan kesempatan untuk meraih cita-cita dan masa depan yang lebih baik, para siswa yang ada di sekolah pedalaman kalah bersaingan dengan siswa yang memiliki fasilitas lengkap dalam belajar, terutama sekolah yang ada di kota. Sungguh menyakitkan, ternyata kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan UN hanya dapat menciptakan ketidakadilan dalam dunia pendidikan.

Komersialisasi Pendidikan


Oleh: Petrus Darwin
Mahasiswa PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Yogyakarta.

Setelah memakan waktu kurang lebih tiga tahun pembahasan, perumusan rancangan undang-undang badan hukum pendidikan ( BHP)akhirnya Di sahkan menjadi undang-undang oleh komisi X DPR RI melalui rapat paripurna DPR pada tanggal 17-12-2008, Banyak pihak yang menentang dan menolak terhadap pengesahan undang-undang ini terutama mahasiswa dan kalangan pengelola yayasan, karena undang-undang ini dinilai dapat mengkomersialisasikan pendidikan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terbesar ke-4 didunia, saat ini penduduk indonesia diperkirakan 200 juta lebih. Dari sekian banyak penduduk indonesia itu mayoritas rakyatnya hidup dibawah digaris kemiskinan. menurut data badan pusat statistik dalam survenya selama bulan pebruari-maret 2008 jumlah penduduk miskin indonesia sebesar 34,95 juta atau 15,42% dari total penduduk indonesia. Dari sekian banyak penduduk miskin yang ada di indonesia itu terjebak dalam kebodohan yang disebabkan oleh sebuah sistem. Rakyat kita menjadi bodoh dan terbelakang serta kekurangan informasi bukanlah keinginan mereka tetapi situasi yang membuat mereka seperti itu. Bagi orang miskin untuk mengikuti pendidikan formal menjadi sesuatu yang jauh dari angan-angan dan harapan mereka. Jangankan mau mengikuti pendidikan , untuk bisa makan pagi dan sore hari saja sudah cukup dan beruntung bagi mereka. Pendidikan yang formal seperti wajib belajar 9 tahun yang telah dicanangkan oleh pemerintah selama ini seakan-akan menjadi sesuatu yang jauh dari jalan hidup mereka, sebab untuk mengenyam atau mendapatkan sebuah pendidikan bukanlah hal yang mudah bagi mereka, tetapi membutuhkan dana yang cukup besar. Yang tidak mungkin bisa dijangkau oleh rakyat miskin.
Jika kita kembali pada UUD 1945 pasal 31 ayat 4, tertuang sebuah petunjuk bahwa, dunia pendidikan harus mendapat perhatian yang lebih dari negara, dan negara harus bertanggung jawab atas pendidikan warga negaranya. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa anggaran pendidikan untuk rakyat adalah sebanyak 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Jumlah yang besar untuk anggaran pendidikan di indonesia. Jika anggaran pendidikan sebesar 20% itu benar-benar direalisasikan bukan tidak mungkin semua rakyat indonesia bisa menikmati pendidikan terutama orang-orang miskin. Namun sangat disayangkan , hal tersebut hanya sebuah peraturan yang tidak pernah direalisasikan. Lihat saja sekarang penduduk miskin yang mau sekolah tidak ada kesempatan karena terbentur oleh kendala biaya atau dana pendidikan yang terlalu mahal.
Belum tuntas masalah kendala biaya pendidikan yang terlalu mahal, kini pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan baru yang kontroversial dalam dunia pendidikan, yaitu tentang UU badan hukum pendidikan (BHP), UU BHP ini disahkan oleh komisi X DPR pada tanggal 17 Desember 2008 melalui rapat paripurna. UU ini merupakan tindal lanjut dari UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasinal (sisdiknas). Substansi UU BHP dalam implementasinya bisa menimbulkan persoalan baru bagi dunia pendidikan. Sebab dalam UU BHP tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan akan dikurangi terutama dalam pengalokasian anggaran atau pendanaan. ini berarti negara lepas tangan atas pembiayaan pendidikan nasional . pendidikan akan diserahkan kepada pemodal untuk menyelenggarakan pendidikan yang diswastakan. akhirnya Pendidikan akan menjadi lahan bisnis bagi para pemodal baik dalam negeri maupun luar negeri. Dengan demikian mekanisme pasar telah menempatkan pendidikan sebagai komoditi yang hanya bisa diakses oleh konsumen yang mampu. UU ini tidak berpihak kepada rakyat kecil, namun sebaliknya akan menindas hak anak-anak dari keluarga kurang mampu atau miskin untuk menikmati pendidikan diperguruan tinggi. Selain itu UU BHP akan menimbulkan diskriminasi dalam bidang pendidikan antara sikaya dan simiskin. Sebab dengan diberlakukannya UU ini maka biaya pendidikan akan mahal dengan demikian hanya orang kaya atau punya uang saja yang bisa menikmati pendidikan sementara orang miskin akan semakin bodoh dan terbelakang. Langkah pemerintah untuk membentuk UU BHP ini bukanlah solusi yang tepat untuk memandirikan dan memaksimalkan kualitas pendidikan, justru dengan dibentuknya UU BHP ini hanya akan mengkomersialisasikan dunia pendidikan kita. Pendidikan yang dikomersilisasikan telah melanggar amanat UUD 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan apabila ini terjadi maka bangsa kita akan menjadi bangsa yang bodoh dan terbelakang, yang selanjutnya berpengaruh pada angka kemiskinan dinegara kita yang semakin bertambah.





Selasa, 24 Maret 2009

"Hegemoni Alat Peraga" Dalam Pembelajaran Sains SD




Oleh: Damaskus Beny


Pendidikan merupakan salah satu aspek dan instrumen yang sangat berpengaruh bagi kemajuan suatu bangsa, dimana pendidikan dapat berperan penting demi tercapainya suatu bangsa yang maju dan berkembang di segala bidang, salah satu di antaranya adalah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Semua negara tentunya menghendaki bangsanya bisa maju, berkembang dan memperoleh kesejahteraan di berbagai bidang, begitu juga dengan negara Indonesia. Semejak negeri ini bebas dari penjajah dan memperoleh kemerdekaanya secara sah di mata dunia sejak itu pula sektor pendidikan mulai diperhatikan dan dianggap sebagai salah satu faktor pendukung kemajuan suatu bangsa. Melalui dunia pendidikan diharapkan lahirlah generasi-generasi penerus bangsa ini yang nantinya akan mengisi dan memebawa kemajuan bangsa baik secara lokal, nasional, maupun di mata dunia. Prioritas pendidikan di negeri ini bukanlah suatu persepsi kulitatif belaka melainkan diperkuat oleh tujuan dari bangsa ini seperti yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea ke 4 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berdasarkan dari apa yang telah tercantum pada tujuan bagsa ini yang tertuang pada UUD 1945 alinea ke 4 yang berbunyi mencerdaskan kehidupan bangsa, maka sudah jelas bahwa aparatur pemerintah sebagai perpanjangan tangan dari kehendak rakyat di negeri ini untuk memperhatikan kondisi pendidikan baik sekarang maupun masa yang akan datatang. Tidak bisa dipungkiri bahwa lembaga pendidikan memegang peranan yang begitu besar terhadap kemajuan dan masa depan putra-putri generasi penerus negeri ini. Jika tingkat dan kualitas pendidikan di negara ini sudah bisa bersaing dan menopang kehidupan, maka akan mempermudah pada kemajuan di sektor-sektor kehidupan yang lainnya. Pendidikan dalam perspektif ini tentunya adalah pendidikan secara formal yang mencakup seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam lembaga pendidikan formal tentunya mempunyai banyak bagian-bagian yang menjadi faktor-faktor pendukung pendidikan itu. Diantara faktor tersebut misalnya sistem pendidikan secara umum yang diterapkan di seluruh negeri ini, kurikulum yang digunakan sebagai acuan dan pedoman dalam pelaksanan pendidikan, pendidik atau guru sebagai pelaksana kegiatan pembelajaran dll. Dari beberapa faktor yang terdapat pada lembaga atau institusi pendidikan itu, dalam penerapanya di lapangan banyak mengalami kendala dan permasalahan.
Kondisi riil di lapangan yang sedang terjadi saat ini pada masyarakat kita di sektor pendidikan sungguh sangat memprihatinkan bahkan merupakan sesuatu yang seharusnya tidak boleh terjadi. Hal itu dapat kita lihat seperti masih banyaknya masyarakat kita yang belum bisa mengenyam pendidikan, jumlah atau tingkat buta huruf yang masih memprihatinkan, semberawutnya proses kegiatan pembelajaran di lapangan, kualitas lulusan yang kurang berkualitas, kemauan dan minat belajar siswa yang masih rendah, kualitas sumber daya manusia (SDM) lulusan yang masih belum bisa memadai dan masih banyak masalah-masalah yang lain belum bisa diselesaikan.
Beranjak dari fenomena tersebut sekarang ini, sudah layak dan sepantasnyalah bangsa indonesia untuk respek terhadap dunia pendidikan, karena permasalahan-permasalahan tersebut harus segera diatasi. Pemerintah yang diangap sebagai perpanjangan tangan dari aspirasi rakyat merupakan lembaga yang memegang peranan dan kendali penting dalam menentukan arah kemajuan pendidikan negeri ini. Melalui dunia pendidikanlah regenerasi penerus bangsa ini bisa lahir, yang akan meneruskan perjalanan bangsa baik sekarang maupun di masa yang akan datang. Kita semua tentunya tidak asing lagi bahwa pendidikan merupakan salah satu aset yang memegang peranan begitu dominan, baik itu aset individu, keluarga, kelompok bahkan negara yang berupa investasi masa depan dan mempunyai prosfek hidup yang dapat diperhitungkan.
Kondisi pendidikan kita yang banyak diasumsikan oleh masyarakat sekarang banyak mengalami kendala dan kegagalan tentunya menjadi bahan refleksi kita bersama dan juga merupakan pekerjaan rumah para elite pejabat negeri ini. Persepsi masyarakat ini bukanlah semata-mata suatu pandangan yang tidak beralasan, karena memang banyak bukti dan fakta di lapangan yang mencerminkan persepsi tersebut benar-benar terjadi. Diantaranya seperti minimnya anggaran pendidikan yang diaplikasikan di lapanagan, kurangnya fasilitas penunjang untuk kegiatan belajar mengajar, tenaga pendidik atau guru yang masih kurang berkompeten dan masih banyak yang lain. Fenomena seperti ini tidak boleh didiamkan begitu saja, untuk itu kita sudah selayaknya untuk mencari solusi yang bukan sekedar teori melainkan tindakan nyata agar permasalahan ini bisa diselesaikan dengan baik.
Menanggapi permasalahan tersebut, dari berbagai tingkatan pendidikan formal yang ada di Indonesia, lembaga sekolah dasar (SD) merupakan tingkat lembaga pendidikan yang sangat menentukan perkembangan dan pertumbuahan para peserta didik. Pada tahap sekolah dasarlah pekembanagan dan pertumbuhan peserta didik dapat dibentuk dan dibina. Maka sudah seharusnyalah tingkat sekolah dasar menjadi prioritas utama yang perlu diperhatiakan dalam pendidikan yang akan berdampak pada kelanjutan dari keberhasilan pada tingkat-tingkat selanjutnya.
Keberhasilan dunia pendidikan kita sekarang ini, khususnya lembaga pendidikan sekolah dasar (SD) masih jauh dari apa yang diharapkan kita bersama. Situasi seperti ini disebabkan oleh banyak faktor yang melatarbelakangi diantaranya adalah dapat terlihat dari masih banyak para siswa yang merasa tidak memahami dan mengerti beberapa pelajaran yang disampaikan oleh guru mereka. Sehingga berdampak pada tingkat prestasi, hasil belajar dan kualitas lulusan yang belum maksimal. Tingkat keberhasilan dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM) sangat dipengaruhi oleh penyajian materi pelajaran yang disampaikan oleh pendidik atau guru. Jika seorang pendidik atau guru menyajikan materi dalam KBM tidak bisa diterima dengan baik dan membosankan bagi para siswa bearti materi yang disampaikan mengalami kegagalan. Kegagalan pendidik atau guru dalam penyampaian materi kepada peserta didik dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti cara atau metode yang digunakan kurang tepat dan tidak menarik minat atau kemauan belajar siswa, media yang digunakan untuk menyampaikan materi yang kurang tepat sasaran dll. Dari berbagai faktor yang menjadi kendala tersebut faktor media merupakan faktor yang sangat berperan besar terhadap proses keberhasialan belajar siswa seperti yang disampaikan oleh teori belajar Piaget pada masa perkembangan dan pertumbuhan belajar anak-anak usaia SD.
Dalam kegiatan belajar mengajar peran media sangat diperlukan, media merupakan instrumen dari preses kegiatan pebelajaran. Kegiatan belajar mengajar akan berjalan dengan lancar dan tersampaikan dengan baik kepada siswa jika media yang digunakan oleh pendidik atau guru merupakan media yang menarik, kontekstual, dan sesuai dengan materi yang disampaikan. Selama ini permasalah di lapangan adalah ketika guru menyampaikan suatu materi pelajaran kepada para siswa, mereka sering mengabaikan peran media dalam proses pembelajaran. Kejadian seperti ini tentunya merupakan permasalahan yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh pendidik atau guru. Penggunaan media dalam kegitan pembelajaran seharusnya diterapkan pada semua jenis mata pelajaran.
Peggunaan media dalam proses kegiatan belajar mengajar tentunya sudah familiar sekali dengan para pendidik atau guru di negeri ini, namun banyak diantara media yang tersedia tersebut yang tidak dimanfaatkan dengan baik secara optimal. Selama ini pelajaran yang disampaikan oleh para pendidik atau guru kebanyakan hanya berupa pemberian materi saja, tanpa para siswa harus tahu dan mengerti mengenai materi tersebut. Penggunaan media yang kurang optimal tersebut salah satunya adalah penggunaan media alat peraga. Diantara media-media yang telah tersedia, media alat peraga boleh dikatakan sebagai salah satu media yang memegang peran yang besar dalam proses pembelajaran IPA khususnya IPA kelas III SD. Siswa-siswi kelas III SD yang notabene masih memerlukan benda-benda kongkret dalam proses kegiatan belajar mengajar mereka sangatlah membutuhkan media alat peraga agar mereka lebih mudah mengerti dan memahami maksud dan tujuan pelajaran yang disampaikan oleh pendidik atau guru mereka.
Penggunaan benda kongkret berupa media alat peraga pada jenjang kelas III SD terbukti memperoleh hasil yang lebih baik. Persepsi ini didukung oleh beberapa teori dan hasil penelitian para ahli, seperti yang telah diungkapkan oleh teori belajar Piaget dimana anak-anak usia SD khusunya yang masih kelas III SD bisa lebih mengerti dan memahami pelajaran yang disampaikan dengan menggunakan benda kongkret salah satunya berupa media alat peraga. Media alat peraga yang didesain sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk aslinya dan ditampilkan dengan warna serta corak yang menarik tentunya akan meningkatkan kemauan dan motivasi belajar para siswa, apalagi pada mata pelajaran seperti IPA. Peningkatan kemauan dan motivasi belajar siswa tersebut diharapkan dapat mendongkrak prestasi belajar para siswa, khususnya para siswa kelas III SD Negeri Demangan.
Bercermin dari kondisi seperti itu maka berbagai upaya seharusnya cepat, dan tepat untuk dilakukan dalam usaha memberikan perbaikan ke arah yang lebih baik. Usaha-usaha yang dilakukan diantaranya adalah dengan mengunakan media peraga dalam proses kegiatan belajar mengajar pada mata pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA). Media peraga diharapkan dapat menjadi wahana yang tepat bagi para siswa untuk dapat lebih mengerti dan memahami terhadap materi-materi yang disampaikan oleh pendidik atau guru mereka. Dengan media peraga maka para siswa dapat melihat secara nyata gambaran materi yang seharusnya mereka ketahui, dengan demikian diharapakan berdampak langsung terhadap peningkatan motivasi belajar siswa, peningkatan prestasi dan hasil belajar para siswa, serta kualitas lulusan.

Jumat, 20 Maret 2009

KTSP dan UU BHP Memiliki "Roh" yang Sama Benarkah.....????


Oleh: Damaskus Beny

KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi , kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Berdasarkan pengertian yang telah dijabarkan diatas,,, dapat kita tarik kesimpulan bahwa roh atau jiwa yang melandasi atau mendasari KTSP adalah Semangat "Desentralisasi" mengapa dikatakan sebgai desentralisasi karena KTSP adalab sebuah kurikulum yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masing-masing lembaga atau instansi pendidikan untuk mengatur, mengelola, dan melaksanakan pendidikan maupun kegiatan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan setiap sekolah dan peserta didik. Dengan kata lain setiap sekolah diberi kewewenangan dan kebebasan untuk mengembangkan atau memprioritaskan pembelajaran tertentu yang sesuai dengan kebutuhan siswa, dan lingkungan dunia kerja yang lebih kontekstual. Lantas apa hubungan atau korelasi antara KTSP dengan BHP.....??? Semejak BHP dimunculkan sebagai wacana atau isu pendidikan di negeri ini,,,,,sejak itu pula pro-kontra masyarakat terhadap BHP bergulir. Pro-kontra yang terjado di negara demokrasi bukanlah sesuatu yang tabu, melainkan merupakan peristiwa yang menjadi bagian dari semangat demokrasi. Kenyatannya adalah bahwa bagi masyarakat di negeri in yang merasa kontra terhadap BHP kayaknya tinggal persepsi belaka betapa tidak kini BHP sudah diketuk palu oleh DPR RI pada tanggal 17 Desember 2008, yang akan segera diaplikasikan di setiap institusi maupun lembaga pendidikan. Sebenarnya apa sich yang menjadi semangat atau roh yang terdapat pada BHP......??? ternyata BHP memilki semangat untuk menempatkan satuan pendidikan sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik maupun non akademik, tanpa khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi. Otonomi yang diberikan dikunci oleh Undang-Undang BHP harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak boleh ada komersialisasi dalam BHP. BHP memastikan bahwa komitmen pemerintah untuk membantu lembaga pendidikan tidak pernah berkurang bahkan bertambah besar. Dari semngat yang menjiwai BHP tersebut, dapat kiata simpulkan bahwa BHP pada dasarnya mempunyai semangat Desentralisasi juga,,,,,,, atau lebih dikenal dengan otonomi pendidikan yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada lembaga atau instasi pendidikan untuk mengatur dan mengelola manajemen keungan sekolah maupun yang lainya. Jika kita korelasikan dengan semangat KTSP yang mempunyai semnagat desentralisasi juga bearti antara BHP dengan KTSP sama-sama mempunyai semagat atau jiwa Desentralisasi,,,,,,,kalau memang demikian dapat ditarik kesimpulan secara umum antara BHP dengan KTSP mempunyai korelasi positif di bidang pendidikan karena sama-sama mempunyai jiwa yang sama yaitu "Jiwa atau Semangat Desentralisasi".

Minggu, 08 Maret 2009

"Kesenjangan Fasilitas SD di Sentero RI"


Oleh: Damaskus Beny


Untuk memperoleh keberhasialan di bidang pendidikan bukan pekerjaan mudah dan instan hal itu tentunya harus banyak faktor yang mendukung, begitu juga dengan keberhasilan di bidang pendidikan tingakat Sekolah Dasar (SD)
,pertanyanya apakah Fasilitas yang memadai itu diperlukan.....??? siapa bilang tidak......Keberadaaan fasilitas dalam proses kegiatan belajar mengajar(KBM) sangat berpengaruh pada keberhasilan pembelajaran itu sendiri, jika suatu sekolah atau instansi pendidikan seperti SD misalnya mempnyai fasilitas yang memadai bukan tidak mungkin proses kegiatan belajar mengajar akan menjadi lebih menyenagkan dan mendapat hasil yang positif. Peserta didik akan merasa nyaman dan memilki motivasi belajar yang tinggi bila ditunjang dengan fasilitas sekolah yang memadai dan di barengi dengan keberadaaan guru-guru yang handal. Bagi kebanyakan pengamat pendidikan di negeri ini yang sebagian besar tinggal di daerah perkotaan mereka mungkin belum mengetahui secara detail bagaiman keadaan dan fasilitas-fasilitas sekolah di pedalaman-pedalaman indonesia seperti di daerah Kal-Bar. Saat ini tepatnya tangal 9 Maret 2009 saya berada di Yogyakarta sebagai salah satu mahasiswa aktif UNY yang tentunya sudah banyak tahu tentang SD-SD yang ada di DIY. Saya melihat kebanyakan SD di DIY rata-rata sudah memiliki fasilitas sekolah yang menunjang dan memadai. Seperti yang terdapat pada salah satu SD Caturtungal 1 Depok, Sleman tempat saya Observasi KKN-PPL yang sudah mempunyai Lab Komputer dan menjadi Eskul bagi Siswa/idi sekolah tersebut. Fasilitas tersebut memang sudah layak dan seharusnya diperoleh oleh para siswa/i generasi penerus bangsa ini. Akan tetapi ada satu hal dan pertanyaan yang mengganjal di hati dan pikiran saya, dimana SD-SD yang terdapat di daerah pedalaman di Kal-Bar sangat kontras sekali keadaaanya dibandingkan dengan SD-SD di perkotan. Jangankan Lap komputer ruang sekolah saja masih semerawut begitu juga dengan guru-guru yang masih minim baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Saya tahu betul bagaimana keadaan SD-SD di daerah pedalaman Kal-Bar karena kebetulan saya adalah putra daerah Asli pedalaman Kal-Bar. Kita semua tentu mengharapkan tidak adanya semacam kesenjangan dan diskriminan yang akan terjadi di masa yang akan datang, cukuplah yang sudah terjadi menjadi bahan repleksi kita bersama dan berusaha untuk memperbaki keadaan. Berbagai upaya pemerintah dewasa ini sudah mulai digerakan mulai dari mengalirkan dana BOS dan menyekolahkan putra-putri negeri ini untuk menjadi guru dan pendidik yang handal dimasa yagng akan datang. Salah satunya Program PGSD S-1 Berasrama dan Berikatan Dinas khusus untuk putra-putri daerah Kal-Bar yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat pada tahun 2006 lalu diumana nantinya selesai studi akan ditempatkan pada SD-SD terpenci yang memang memerlukan ikon-ikon baru untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Akhir kata Mari kita Bangun Bangsa ini tanpa memperhatikan perbedaan menjadi suatu permasalahan akan berjuanglah supaya bisa merasakan baik susah maupun sengan secara bersama-sama.

Kamis, 18 Desember 2008

Pendekatan Konstruktivisme dalam pembelajaran Sains


Teori Konstruktivisme

didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.
Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan satu pendekatan yang didapati sesuai dipraktikkan dalam pengajaran dan pembelajaran sains. Dalam pendekatan ini murid dianggap telah mempunyai idea yang tersendiri tentang sesuatu konsep yang belum dipelajari. Idea tersebut mungkin benar atau tidak.
Konstruktivisme melibatkan lima fase, iaitu:
1. Guru meneroka pengetahuan sedia ada murid pada permulaan sesuatu pelajaran melalui soal jawab atau ujian.
2. Guru menguji idea atau pendirian murid melalui aktiviti yang mencabar idea atau pendiriannya.
3. Guru membimbing murid menstruktur semula idea.
4. Guru memberi peluang kepada murid mengaplikasikan idea baru yang telah diperoleh untuk menguji kebenarannya.
5. Guru membimbing murid membuat refleksi dan perbandingan idea lama dengan idea yang baru diperoleh.
Prinsip-prinsip Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan suatu pendekatan p&p yang berdasarkan premis bahawa kognisi (pembelajaran) diakibatkan oleh “pembinaan mental”. Dengan kata-kata lain, pelajar mempelajari dengan mencantumkan maklumat baru dengan pengetahuan sedia adanya. Ahli konstruktivis menegaskan bahawa pembelajaran dipengaruhi oleh konteks sesuatu idea diajar serta kepercayaan dan sikap pelajar.
Caine dan Caine (1991) menenaraikan 12 prinsip pembelajaran ala konstruktivisme:
1. Otak itu prosesor yang selari. Ia memproses banyak jenis maklumat termasuk fikiran, emosi dan pengetahuan budaya. Pengajaran yang efektif menggunakan pelbagai strategi pengajaran.
2. Pembelajaran melibatkan keseluruhan fisiologi. Guru tidak boleh menumpukan kepada intelek sahaja.
3. Usaha untuk mencari makna bersifat semula jadi. Pengajaran efektif menyedari bahasa pengertian bagi seseorang adalah personal dan unik, pemahaman seseorang pelajar bergantung kepada pengalaman uniknya.
4. Usaha untuk mencari makna berlaku melalui pencorakan. Pengajaran efektif menghubungkaitkan idea dan maklumat dengan konsep dan tema global.
5. Emosi adalah kritikal kepada pencorakan. Pembelajaran dipengaruhi oleh emosi, perasaan dan sikap.
6. Otak memproses bahagian kecil dan keseluruhannya secara serentak. Orang menghadapi masalah membelajari sesuatu jika bahagian kecil atau keseluruhan diabaikan.
7. Pembelajaran melibatkan perhatian berfokus dan persepsi keliling (peripheral). Pembelajaran dipengaruhi oleh persekitaran, kebudayaan dan iklim.
8. Pelajaran melibatkan proses sedar dan tak sedar. Pelajar memerlukan masa untuk memproses ‘apa’ dan ‘bagaimana’ isi pelajarannya.
9. Terdapat sekurang-kurangnya dua jenis ingatan: sistem ingatan ruang (spartial) dan sistem ingatan untuk pembelajaran hafalan. Pengajaran yang terlalu mengutamakan pembelajaran hafalan tidak memajukan pembelajaran ruang dan pembelajaran berasaskan pengalaman boleh menghalang pemahaman murid.
10. Pelajar memahami dan mengingati dengan baik jika fakta dan kemahiran diselitkan dalam ingatan natural dan ruang. Pembelajaran eksperimen adalah paling efektif.
11. Pembelajaran diperkuatkan oleh cabaran dan dibantutkan oleh ancaman. Iklim bilik darjah harus mencabar tetapi tidak mengugut pelajar.
12. Setiap otak adalah unik. Pengajaran mestilah dipelbagaikan agar murid-murid dapat menyatakan kecenderungan masing-masing.
Filsafat Kontruktivis dan Pembelajaran Kontekstual
Pada bagian ini akan diuraikan beberapa pendekatan baru dalam pembelajaran matematika yang relevan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas. Pedekatan terebut adalah: konstruktivis dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning).
Konstruktivis
Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 1997).
Prinsip-prinsip kontruktivisme banyak digunakan dalam pembelajaran sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar, (3) murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4) guru sekadar membantu penyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus (Suparno, 1997).
Menurut filsafat konstruktivis berpikir yang baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan yang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomen baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan lain (Suparno, 1997).
Seringkali diungkapkan bahwa menurut paradigma baru pendidikan peran guru harus diubah, yaitu tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya, tetapi harus mampu menjadi mediator dan fasilitator. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut.
1. Menyediakan pengalaman belajar yang memeungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu memberi ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
2. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka (Watt & Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik (Tobin, Tippins, & Gallard, 1994).
3. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. (Suparno, 1997).
Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar.
1. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.
2. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat.
3. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar.
4. Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.
5. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru. (Suparno, 1997).
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual berangkat dari suatu kenyakinan bahwa seseorang tertarik untuk belajar apabila ia melihat makna dari apa yang dipelajarinya. Orang akan melihat makna dari apa dipelajarinya apabila ia dapat menghubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan dan pengelamannya terdahulu. Sistem pembelajaran kontekstual didasarkan pada anggapan bahwa makna memancar dari hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks memberi makna pada isi. Lebih luas konteks, dalam mana siswa dapat membuat hubungan-hubungan, lebih banyak makna isi ditangkap oleh siswa. Bagian terbesar tugas guru, dengan demikian, adalah menyediakan konteks. Apabila siswa dapat semakin banyak menghubungkan pelajaran sekolah dengan konteks ini, maka lebih banyak makna yang akan mereka peroleh dari pelajaran-pelajaran tersebut. Menemukan makna dalam pengetahuan dan ketrampilan membawa pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan tersebut (Johnson, 2002).
Ketika siswa menemukan makna dari pelajaran di sekolah, mereka akan memahami dan mengingat apa yang telah mereka pelajari. Pembelajaran konteksual memungkina siswa mampu menghubungkan pelajaran di sekolah dengan konteks nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga mengetahui makna apa yang dipelajari. Pembelajaran kontekstual memperluas konteks pribadi mereka, sehingga dengan menyediakan pengalaman-pengalaman baru bagi para siswa akan memacu otak mereka untuk membuat hubungan-hubungan yang baru, dan sebagai konsekuensinya, para siswa dapat menemukan makna yang baru (Johnson, 2002).
Pembelajaran kontekstual merupakan sistem yang holistik (menyeluruh). Ia terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan, yang apabila dipadukan akan menghasilkan efek yang melebihi apa yang dapat dihasilkan oleh suatu bagian secara sendiri (tunggal). Persis seperti biola, celo, klarinet dan alat musik yang lain dalam suatu orkestra yang mempunyai suara yang berbeda, tetapi secara bersama-sama alat-alat musik tersebut menghasilkan musik. Jadi, bagian-bagian yang terpisah dari CTL melibatkan proses yang berbeda, apabila digunakan secara bersama-sama, memungkinkan siswa membuat hubungan untuk menemukan makna. Setiap elemen yang berbeda dalam sistem CTL memberikan kontribusi untuk membantu siswa memahami makna pelajaran atau tugas-tuga sekolah. Digabungkan, elemen-elemen tersebut membentuk suatu siswa yang memungkinkan siswa melihat makna dari pelajaran sekolah, dan menyimpannya (Johnson, 2002).
Dari uraian di atas, CTL didefinisikan sebagai suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dari pelajaran sekolah yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pelajaran tersebut dengan konteksnya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, sosial, maupun budaya. Untuk mencapai tujuan itu, sistem tersebut meliputi delapan komponen: (1) membuat hubungan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang berarti, (3) pengaturan belajar sendiri, (4) kolaborasi, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) mendewasakan individu, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian autentik. (Johnson, 2002).
MODUL 8MODEL-MODEL PEMBELAJARAN IPA
Kegiatan Belajar 1Konstruktivisme dalam Pembelajaran IPA
Tugas guru dalam mengajar terutama adalah membantu transfer belajar. Tujuan melakukan transfer belajar adalah menerapkan hal-hal yang sudah dipelajari ada situasi baru. Caranya dengan menjadikannya lebih bersifat umum. Terdapat perbedaan mendasar antara pendapat penganut teori belajar perilaku dengan penganut teori belajar kognitif. Perbedaan tersebut terutama dalam hal perubahannya. Menurut teori belajar perilaku belajar melibatkan perubahan perilaku, sedangkan menurut teori belajar kognitif belajar melibatkan perubahan pemahaman. Pandangan konstruktivis lebih menekankan belajar sebagai upaya membangun konsep atau argumen yang harus dilakukan sendiri oleh siswa yang belajar (dengan bantuan guru atau orang dewasa). Konsepsi awal siswa mendapat perhatian dalam pembelajaran berdasarkan pandangan konstruktivis. Tugas guru adalah menciptakan situasi konflik setelah siswa mengemukakan gagasannya, dan memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksperimen atau observasi (atau membaca) melalui interaksi sosial, mengemukakan konsepsi barunya dan menerapkannya pada situasi baru. Agar belajar IPA menjadi bermakna, maka perlu ada konteks ekologi konsepsi yang sesuai, seperti rasa tidak puas pada anak dengan gagasan yang dimilikinya; gagasan baru yang dapat dimengerti (inteligible); konsepsi baru yang masuk akal (plausible); dan konsepsi baru yang bermanfaat (fruitful).

B.Teori Konstruktivis dalam Pembelajaran IPA
Konstruktivis adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi kita sendiri (Von Glaserfelt dalam
Suparno, 1997). Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan, bahwa
anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar
secara sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan
yang lebih tinggi (Slavin, 1994; Abruscato, 1999).
Ide pokoknya adalah siswa secara aktif membangun pengetahuan mereka
sendiri, otak siswa sebagai mediator, yaitu memproses masukan dari dunia luar
dan menentukan apa yang mereka pelajari. Pembelajaran merupakan kerja mental
aktif, bukan menerima pengajaran dari guru secara pasif. Dalam kerja mental
siswa, guru memegang peranan penting dengan cara memberikan dukungan,
tantangan berfikir, melayani sebagai pelatih atau model, namun siswa tetap
merupakan kunci pembelajaran (Von Glaserfelt dalam Suparno, 1997; Abruscato,
1999).
Menurut teori ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan
adalah bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada
siswa agar secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru
dapat memberikan kepada siswa atau peserta didik anak tangga yang membawa
siswa akan pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri harus
memanjat anak tangga tersebut (Slavin, 1994).
Pada bagian ini akan dikemukakan dua teori yang melandasi pendekatan
konstruktivis dalam pembelajaran IPA yaitu Teori Perkembangan Kognitif
Piaget, dan Teori Perkembangan Mental Vygotsky.

Kamis, 11 Desember 2008

PENDIDIKAN SEBAYA


Oleh: Damaskus Beny
PANDUAN PENDIDIK SEBAYA
DEFINISI PENDIDIK SEBAYA DAN PERSYARATAN

Siapakah Pendidik Sebaya itu? Pendidik Sebaya adalah orang yang menjadi narasumber bagi kelompok sebayanya. Mereka adalah orang yang aktif dalam kegiatan sosial di lingkungannya, misalnya aktif di karang taruna, pramuka, OSIS, pengajian, PKK, dan-lain-lain.
Mengapa Pendidik Sebaya diperlukan?
Karena Pendidik Sebaya menggunakan bahasa yang kurang lebih sama sehingga informasi mudah dipahami oleh sebayanya.
Teman sebaya mudah untuk mengemukakan pikiran dan perasaannya di hadapan pendidik sebayanya.
Pesan-pesan sensitif dapat disampaikan secara lebih terbuka dan santai.
Apakah syarat-syarat menjadi Pendidik Sebaya?
Aktif dalam kegiatan sosial dan populer di lingkungannya;
Berminat pribadi menyebarluaskan informasi KR;
Lancar membaca dan menulis;
Memiliki ciri-ciri kepribadian, antara lain: ramah, lancar dalam mengemukakan pendapat, luwes dalam pergaulan, berinisiatif dan kreatif, tidak mudah tersinggung, terbuka untuk hal-hal baru, mau belajar serta senang menolong;
Pengetahuan apa saja yang perlu dimiliki Pendidik Sebaya? Yang perlu dimiliki terutama adalah :
Pengetahuan Kesehatan Reproduksi, mencakup: organ reproduksi dan fungsinya, proses terjadinya kehamilan, Penyakit Menular Seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, metode kontrasepsi dan lain-lain;
Pengetahuan mengenai hukum, agama dan peraturan perundang-undangan mengenai Kesehatan Reproduksi.
Keterampilan apa saja yang perlu dimiliki Pendidik Sebaya? Pendidik Sebaya harus memiliki keterampilan komunikasi interpersonal, yaitu hubungan timbal balik yang bercirikan:
Komunikasi dua arah;
Perhatian pada aspek verbal dan non-verbal.
Penggunaan pertanyaan untuk menggali informasi, perasaan dan pikiran;
Sikap mendengar yang efektif.
KETERANGAN Komunikasi dua arah Berbeda dengan komunikasi satu arah dimana hanya satu pihak yang berbicara, dalam tempo singkat namun hasilnya kurang memuaskan; komunikasi dua arah memungkinkan kedua belah pihak sama-sama berkesempatan untuk mengajukan pertanyaan, pendapat dan perasaan. Waktu yang digunakan memang lebih lama, namun hasil yang dicapai memuaskan kedua belah pihak. Komunikasi Verbal dan Non-Verbal Komunikasi verbal adalah bentuk komunikasi dengan menggunakan kata-kata. Pendidik Sebaya hendaknya: Menggunakan kata-kata yang sederhana dan mudah dipahami kelompok.
Menghindari istilah yang sulit dimengerti.
Menghindari kata-kata yang bisa menyinggung perasaan orang lain.
Komunikasi non-verbal adalah komunikasi yang tampil dalam bentuk nada suara, ekspresi wajah-wajah dan gerakan anggota tubuh tertentu. Dalam menyampaikan informasi, Pendidik Sebaya perlu mempertahankan kontak mata dengan lawan bicara, menggunakan nada suara yang ramah dan bersahabat. Cara Bertanya Ada dua macam cara bertanya, yaitu pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka. Pertanyaan Tertutup:
Adalah pertanyaan yang memerlukan jawaban yang singkat. Bisa dijawab dengan "Ya " dan "Tidak ."
Biasanya digunakan di awal pembicaraan untuk menggali informasi dasar.
Tidak memberi kesempatan peserta untuk menjelaskan perasaan/pendapatnya. Contoh:
"Berapa usiamu?"
"Apakah kamu pernah mengikuti kegiatan semacam ini?"
Pertanyaan Terbuka:
Mampu mendorong orang untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran.
Bisa memancing jawaban yang panjang.
Memungkinkan lawan bicara untuk mengungkapkan diri apa adanya. Contoh :
"Apa yang kau ketahui tentang PMS?"
"Bagaimana rasanya waktu mengalami haid pertama?"
Mendengar efektif Dalam melaksanakan pendidikan sebaya, mendengar efektif dapat dilakukan dengan cara:
Menunjukkan minat mendengar
Memandang lawan bicara
Tidak memotong pembicaraan
Menunjukkan perhatian dengan cara bertanya
Mendorong peserta untuk terus bicara baik dengan komentar kecil (misal: mm..., ya...), atau ekspresi wajah tertentu (misalnya menganggukan kepala).
PERSIAPAN KEGIATAN PENDIDIKAN SEBAYA
Dimanakah pendidikan sebaya dapat dilakukan? Dimana saja asalkan nyaman buat Pendidik Sebaya dan kelompoknya. Kegiatan tidak harus dilakukan di ruangan khusus. Bisa dilakukan di teras mesjid, di bawah pohon yang rindang, di ruang kelas yang sedang tidak dipakai, di aula gereja, dan sebagainya. Tempat pendidikan sebaya sebaiknya tidak ada orang lalu-lalang dan jauh dari kebisingan sehingga diskusi bisa berlangsung tanpa gangguan.
Persiapan apa yang harus dilakukan oleh Pendidik Sebaya sebelum pertemuan?
Membaca kembali topik yang akan disajikan, baik dari buku panduan yang telah dimiliki maupun bacaan lainnya;
Menyiapkan alat bantu sesuai topik yang akan dibicarakan, misalnya alat peraga, contoh-contoh kasus, kliping koran, dan lain-lain

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN SEBAYA
Berapakah jumlah ideal peserta kegiatan pendidikan sebaya? Yang ideal, pendidikan sebaya diikuti oleh tidak lebih dari 12 peserta agar setiap peserta mempunyai kesempatan bertanya. Bila peserta terlalu banyak, tanya jawab menjadi kurang efektif, dan peserta tidak akan mendapatkan pemahaman serta pengetahuan yang cukup memadai.
Bagaimana menyelenggarakan pendidikan sebaya?
Pendidik Sebaya (PS) mencari teman seusia yang berminat terhadap kesehatan reproduksi. Hindari cara-cara pemaksaan. Para peserta harus bersedia mengikuti seluruh pertemuan yang telah disepakati.
Untuk dapat memahami keseluruhan materi kesehatan reproduksi, paket pertemuan sekurangnya 8 kali. Setiap kali pertemuan berlangsung antara 2 - 2½ jam.
Tempat dan waktu pertemuan ditentukan bersama oleh peserta.
Pendidikan diberikan oleh dua orang Pendidik Sebaya. Satu pendidik menyampaikan dan memandu diskusi. Satu pendidik lainnya melakukan pencatatan terhadap pertanyaan yang diajukan peserta, observasi tentang proses diskusi, serta membantu menjawab pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh Pendidik Sebaya pertama. Peran Pendidik Sebaya dilakukan bergantian dengan tujuan agar setiap pendidik mempunyai kesempatan untuk menyampaikan informasi dan memandu diskusi. Selain itu mereka juga bisa saling memberikan umpan balik selama menjadi pemandu.
Pendidik Sebaya memulai acara dengan menyampaikan materi selama tidak lebih dari setengah jam, waktu selebihnya digunakan untuk diskusi dan menampung pertanyaan.
Bila ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab, jawaban bisa ditunda untuk ditanyakan kepada mereka yang lebih ahli, bisa dokter/paramedis, tokoh masyarakat atau tokoh agama, dan lain-lain.
Topik-topik apa yang perlu dibahas?
Pengenalan organ reproduksi laki-laki dan perempuan dan fungsinya masing-masing;
Proses terjadinya kehamilan, termasuk kehamilan yang tidak diinginkan dan bahaya aborsi yang tidak aman;
Metode-metode pencegahan kehamilan (metode kontrasepsi);
Penyakit-penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS;
Gender dan seksualitas; dan
Narkoba.

KIAT-KIAT MENJADI PENDIDIK SEBAYA YANG BERHASIL
Bagaimana kiat-kiat menjadi Pendidik Sebaya yang berhasil
Mau terus belajar dan memperluas wawasan.
Rajin mencari informasi tambahan.
Menyisipkan humor dalam pemberian materi.
Kreatif mencari alat bantu untuk menghidupkan suasana pembelajaran.
Apakah yang harus dan tidak boleh dilakukan oleh Pendidik Sebaya dalam pendidikan sebaya? Pendidik Sebaya harus melakukan hal-hal berikut:
Membuat persiapan sebelum kegiatan pembelajaran;
Menguasai materi;
Melibatkan semua peserta dalam kegiatan pembelajaran;
Menggunakan alat bantu;
Berbicara dengan jelas dan lantang;
Memancing pertanyaan dari peserta pertemuan;
Mengatur waktu dengan cermat;
Duduk dalam lingkaran agar bisa memandang satu sama lain;
Menjaga kontak mata dalam bicara;
Memperhatikan bahasa tubuh peserta;
Periksa apakah informasi sudah dimengerti peserta;
Bersikap sabar tapi percaya diri.
Pendidik Sebaya jangan melakukan hal-hal berikut:
Membelakangi peserta;
Meremehkan komentar dan pendapat peserta;
Membaca materi. Materi sebaiknya sudah dihapai dan dipahami;
Berbicara dengan nada keras kepada peserta.
Menggurui.
Hanya melihat pada satu atau dua peserta saja, sebaiknya memandang kepada keseluruhan secara bergantian;
Menghakimi.

MENYAMPAIKAN INFORMASI KR PADA REMAJA DALAM KELOMPOK BESAR (PESERTA LEBIH DARI 50 ORANG)
Pendidik Sebaya yang telah terlatih untuk memberikan atau menyampaikan informasi KR dalam kelompok yang kecil dapat meningkatkan kemampuannya pada kelompok yang lebih besar. Disebut kelompok besar bila jumlah peserta lebih dari 50 orang. Kegiatan ini sering disebut dengan penyuluhan. Contoh kegiatan ini adalah:
Ceramah di sekolah;
Ceramah pada peringatan hari-hari khusus, misalnya acara Tujuh Belas Agustus, Hari Kartini, Hari Pendidikan Nasional, dan sebagainya;
Penyuluhan kader di desa;
Penyuluhan pada organisasi kemasyarakatan, misalnya: pramuka, karang taruna, pengajian, remaja gereja, dan sebagainya.
Dalam menghadapi kelompok besar, apa saja yang harus diperhatikan oleh Pendidik Sebaya? Sebelum penyuluhan, seorang Pendidik Sebaya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Kesiapan Pribadi
Membaca materi yang akan disampaikan;
Cari informasi mengenai peserta penyuluhan;
Bahasa dan alat bantu yang akan digunakan perlu disesuaikan dengan keadaan peserta penyuluhan;
Rencanakan skenario alokasi waktu dan melatih diri untuk kegiatan ceramah.
Pengaturan Tempat
Meskipun jumlah peserta banyak, jika ruangan memungkinkan atur kursi/tempat duduk yang memudahkan interaksi antara pendidik dan peserta.
Hindari bentuk susunan tempat duduk berderet kebelakang seperti di kelas/sekolah. Idealnya kursi tersusun membentuk huruf "U ".
Alat Bantu
Pastikan ketersediaan fasilitas alat bantu, misalnya: OHP, in-focus, pengeras suara (microphone), listrik, dan sebagainya. Perhatikan apakah alat-alat tersebut dapat berfungsi dengan baik.
Pastikan bahwa alat bantu (termasuk gambar) yang digunakan dapat dilihat oleh semua peserta dengan mudah.
Jika menggunakan lembar transparan, perhatikan jumlah baris kalimat dalam setiap tampilan tidak lebih dari 7 baris ke bawah.
Jika menggunakan tulisan tangan, gunakan huruf besar yang jelas agar mudah terbaca.
Tiba di tempat lebih awal dari waktu penyuluhan (+ 15-30 menit) untuk memeriksa fasilitas alat bantu.
Pada saat penyuluhan, seorang Pendidik Sebaya harus memperhatikan sebagai berikut:
Perkenalkan diri sebelum memulai penyuluhan.
Secara singkat, jelaskan tujuan dari topik yang akan disampaikan.
Sampaikan informasi secara menarik, berbicara singkat dan mudah dimengerti. Sisipkan humor-humor segar.
Pastikan suara dapat didengar dengan jelas oleh seluruh peserta. Hindari nada suara yang datar. Jangan bicara terlalu cepat.
Kemukakan hal-hal yang penting terlebih dahulu.
Tekankan hal-hal yang perlu diingat.
Hindari istilah tehnis medis atau istilah asing, misalnya: discharge, ovum, dan lain-lain.
Pada awal penyampaian dan setiap pergantian topik, jangan lupa gali pengetahuan peserta dengan cara memberikan 1 - 2 pertanyaan terkait. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya komunikasi satu arah. Contoh: Topik penyuluhan: Penyakit Menular Seksual (PMS) Pertanyaan:
"Apakah yang anda ketahui tentang PMS?"
"Sebutkan jenis-jenis PMS?"
"Bagaimana cara menghindari penularan PMS?"
Usahakan tidak menetap pada satu posisi atau tempat, berdiri di belakang mimbar atau duduk di belakang meja.
Jangan memandang pada satu arah atau beberapa peserta saja. Bagi perhatian secara merata.
Perhatikan bahasa tubuh peserta. Jika peserta terlihat tidak mengerti atau tidak tertarik (terlihat mengantuk atau berbicara dengan peserta lain), pancing dengan pertanyaan yang dapat mengungkapkan pengetahuan, pemahaman dan perasaan peserta.
Beri kesempatan peserta untuk bertanya. Sekali-kali, lempar pertanyaan peserta untuk dijawab oleh peserta lain. Beri pujian kepada peserta yang dapat menjawab pertanyaan dengan benar.
Alokasi waktu untuk setiap penyuluhan/ceramah, tidak lebih dari dua jam dengan pembagian waktu penyampaian materi dan diskusi 50% : 50%.
Kira-kira 10 menit terakhir, buat rangkuman dari seluruh pembicaraan dan hasil diskusi.
Akan lebih baik jika Pendidik Sebaya menyiapkan ringkasan informasi yang dipresentasikan untuk dibagikan pada peserta di akhir ceramah.
Akhiri kegiatan dengan mengucapkan salam perpisahan dan terima kasih.

Lampiran
Contoh Penyampaian Materi Kesehatan Reproduksi Remaja Bagi Pendidik Sebaya Pendidik Sebaya diharapkan kreatif dalam menyampaikan materi kesehatan reproduksi remaja. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari kebosanan dalam penyampaian. Penyampaian materi bisa dilakukan dengan cara curah pendapat, diskusi kelas/kelompok, bermain peran/drama, demonstrasi, ceramah singkat, dll. Berikut ini adalah salah satu contoh cara penyampaian.
Alat Reproduksi Manusia dan Fungsinya (120 Menit)
Katakan kepada peserta bahwa sekarang kita akan membahas mengenai alat-alat reproduksi manusia.
Bagikan gambar peta buta alat reproduksi perempuan dan laki-laki, minta peserta untuk menuliskan nama-nama dari alat reproduksi yang telah ditentukan. Minta beberapa peserta untuk mengemukakan jawaban mereka
Tayangkan lembar transparan bergambar alat reproduksi perempuan dan laki-laki yang telah dilengkapi dengan nama masing-masing bagian alat reproduksi tersebut. Bahas bersama peserta nama lain yang biasa digunakan di daerah masing-masing.
Terangkan fungsi masing-masing alat, misalnya "indung telur adalah tempat sel telur diproduksi." Beri kesempatan peserta untuk mengemukakan pengetahuan mereka dan mengajukan pertanyaan.
Rangkum berbagai hal penting mengenai alat reproduksi dan fungsinya.
Remaja dan Perkembangannya (60 menit)
Ajak peserta untuk mengingat kembali masa ketika mereka memasuki masa akil baligh. Tanyakan kepada mereka tanda-tanda dan perubahan apa yang mereka rasakan, baik fisik maupun perasaan mereka. Bahas bersama mengenai perkembangan emosi dan seksual yang terjadi pada masa tersebut. Bahas pula mengenai isu-isu yang terkait, misalnya mengenai mimpi basah dan masturbasi pada remaja laki-laki, serta menstruasi pada remaja perempuan. Tanyakan pengalaman dan penghayatan peserta ketika mengalami perubahan dan berbagai tanda tadi. Tekankan kepada peserta bahwa semua hal tersebut wajar terjadi pada seorang remaja.
Berikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya dan mendiskusikan pengalaman-pengalamannya.
Sek, Seksualitas dan Jender (120 menit)
Lakukan permainan mengenai kelahiran bayi. Minta seorang peserta perempuan berperan sebagai ibu yang baru melahirkan. Minta peserta tersebut duduk sambil menggendong bayinya (boneka), disebelahnya peserta lain diminta berperan sebagai suaminya. Beberapa peserta diminta menjadi tamu dan menanyakan berbagai hal sehubungan dengan kelahiran bayi. Misalnya, "bayimu laki-laki atau perempuan?" "jika besar nanti, kamu ingin anakmu menjadi apa?" "Kamu sendiri sebenarnya menginginkan bayi laki-laki atau perempuan?" dsb. Para tamu diminta pula untuk mengomentari jawaban pasangan suami istri tersebut.
Tanyakan kepada peserta apa yang bisa kita pelajari dari permainan tadi. Kemudian pelatih menjelaskan beda antara "seks" dan "jender." Gunakan lembar transparan bertuliskan definisi kedua kata tersebut. Jelaskan pula mengenai konsep seksualitas. Tambahkan penjelasan mengenai konsep lain yang terkait, seperti: kesehatan seksual, hak-hak reproduksi, dll. Berikan contoh-contoh kongkrit sebanyak mungkin. Kaitkan dengan perkembangan seksual remaja dan ketimpangan jender yang ada. Jangan lupa memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya. Pertanyaan peserta mungkin meluas hingga ke aspek perilaku seksual suatu daerah tertentu, misalnya "Sifon" di Nusa Tenggara Timur (mengenai tradisi melakukan hubungan seksual setelah seorang laki-laki di khitan) atau budaya penggunaan "tongkat Madura" (semacam batang kayu yang dimasukkan ke dalam vagina untuk menyerap cairan vagina).
Hubungan Seksual, Kehamilan dan Pencegahannya serta Aborsi (180 menit)
Katakan pada peserta bahwa topik bahasan selanjutnya adalah hubungan seksual, kehamilan dan pencegahannya, serta aborsi.
Lakukan curah pendapat tentang apa yang dimaksud dengan hubungan seksual. Lengkapi jawaban dengan penjelasan bahwa hubungan seksual dalam bahasan ini merujuk kepada ekspresi/tindakan seksual yang berpeluang besar untuk terjadinya kehamilan. Misalnya dengan mendekatkan, menggesekkan, memasukkan sebagian atau seluruh penis ke dalam vagina memungkinkan masuknya sperma ke dalam vagina.
Ajak peserta untuk membahas tentang kehamilan. Bagi peserta menjadi beberapa kelompok kecil @ 4-5 orang. Minta kelompok untuk membahas proses terjadinya suatu kehamilan. Beri peserta waktu 15 menit untuk mendiskusikan dan menyiapkan hasil diskusi kelompoknya untuk dipresentasikan.
Lengkapi presentasi kelompok dengan menayangkan lembar balik transparan tentang proses kehamilan.
Selanjutnya, katakan kepada peserta bahwa kita akan beralih pada pembahasan mengenai pencegahan kehamilan. Lakukan curah pendapat mengenai berbagai metode/cara untuk mencegah kehamilan. Ajak peserta untuk aktif menyumbangkan pendapat mengenai hal ini. Pelatih perlu menjelaskan bahwa cara pencegahan kehamilan terbagi dalam cara alami (misalnya, metode kalendar/pantang berkala, senggama terputus, pemeriksaan lendir pada vagina) dan cara modern (kondom, AKDR/IDU/Spiral, pil, suntik, susuk, PKPK/pil kontrasepsi pencegah kehamilan, sterilisasi). Gunakan buku Pedoman Kesehatan Reproduksi sebagai rujukan. Lakukan tanya jawab.
Katakan kepada peserta bahwa sekarang akan dibahas mengenai kehamilan yang tidak diinginkan. Lontarkan pertanyaan: "Kondisi dan alasan apa saja yang membuat suatu kehamilan tidak diinginkan?" Lakukan pembahasan dengan merujuk buku Pedoman Kesehatan Reproduksi mengenai kehamilan yang tidak diinginkan. Minta peserta untuk memberikan contoh-contoh yang ada di lingkungan sekitar tempat tinggal.
Sampaikan bahwa aborsi merupakan topik terakhir dalam pembicaraan ini. Lakukan permainan pendahuluan "jaring laba-laba." Minta enam peserta untuk menjadi relawan. Satu peserta diminta berperan sebagai remaja putri (RP) yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, karenanya ingin mengugurkan kandungannya. Lima peserta lainnya berdiri mengelilinginya. Peserta lain diminta menjadi observer. Pelatih menceritakan dengan singkat riwayat RP tersebut. Katakan bahwa RP adalah murid SMU kelas 2 yang dihamili dan ditinggal pergi oleh pacar. Pelatih menanyakan pertanyaan sebagai berikut: "Mengapa RP memutuskan untuk menghentikan kehamilannya?" Minta peserta untuk memberikan kemungkinan jawaban. Untuk setiap jawaban yang dampaknya memberatkan RP, minta para peserta yang mengelilingi untuk menjeratkan tali secara bergiliran pada tubuh RP. Semakin banyak jawaban yang memberatkan RP semakin banyak jeratan pada tubuhnya. Kemudian pancing pendapat peserta bagaimana mencegah terjadinya kejadian kehamilan yang tidak diinginkan. Setiap jawaban yang memberikan pemecahan persoalan, membuka jeratan yang melingkar di tubuh RP. Setelah permainan selesai, ajak peserta untuk merenungkan dan memberikan pendapat mengenai makna dari permainan tadi.
Terangkan bahwa ada dua jenis aborsi, yaitu aborsi spontan dan aborsi yang disengaja.
Lengkapi pembahasan dengan menerangkan mengenai aborsi aman dan aborsi tidak aman. Terangkan mengenai macam-macam aborsi tidak aman, seperti pijatan, minum jamu atau obat-obatan, loncat-loncat, dll. Jelaskan bahwa aborsi aman tidak sama dengan infanticida (pembunuhan bayi). Berikan kesempatan pada peserta untuk mengemukakan pendapatnya.
Penyakit Menular Seksual (PMS) (180 Menit)
Katakan kepada peserta bahwa kita akan beralih kepada topik PMS. Bagi peserta ke dalam kelompok kecil @ 4 orang. Minta setiap kelompok untuk membahas macam-macam PMS yang mereka ketahui dan cara pengobatan yang biasa dilakukan di daerah masing-masing. Setelah 10 menit, minta salah seorang wakil setiap kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka.
Lengkapi jawaban hasil diskusi kelompok dengan menjelaskan dan menayangkan lembar transparan berisi mengenai macam-macam PMS, gejala, masa inkubasi, efeknya, cara pengobatan dan perkiraan besar biaya pengobatan. Gunakan pula rujukan dari buku Pedoman Kesehatan Reproduksi. Berikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya.
Kekerasan terhadap Perempuan (60 menit)
Katakan pada peserta bahwa topik bahasan selanjutnya adalah kekerasan terhadap perempuan.
Lontarkan pertanyaan "Mengapa kekerasan terhadap perempuan dan bukan kekerasan terhadap laki-laki yang dijadikan topik bahasan?" Lengkapi jawaban peserta dengan menjelaskan bahwa korban kekerasan umumnya adalah kelompok yang dianggap paling lemah dalam masyarakat, dalam hal ini adalah perempuan dan anak-anak.
Lakukan curah pendapat mengenai beberapa macam kekerasan yang biasa terjadi pada perempuan. Minta beberapa peserta untuk menyebutkan beberapa contoh kekerasan yang biasa terjadi di daerah masing-masing. Diskusikan bersama.

PAKEM ITU APA .......!???


oleh : Depdiknas


A. Apa itu PAKEM?
PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan.
Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Sehingga, jika pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya tinggi. Menurut hasil penelitian, tingginya waktu curah terbukti meningkatkan hasil belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa.
Secara garis besar, gambaran PAKEM adalah sebagai berikut:
Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
Guru menggunakan berbagai alat bantu dan cara membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’
Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.
B. Apa yang harus diperhatikan dalam melaksanakan PAKEM?
Memahami sifat yang dimiliki anak
Pada dasarnya anak memiliki sifat: rasa ingin tahu dan berimajinasi. Anak desa, anak kota, anak orang kaya, anak orang miskin, anak Indonesia, atau anak bukan Indonesia – selama mereka normal – terlahir memiliki kedua sifat itu. Kedua sifat tersebut merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap/berpikir kritis dan kreatif. Kegiatan pembelajaran merupakan salah satu lahan yang harus kita olah sehingga subur bagi berkembangnya kedua sifat, anugerah Tuhan, tersebut. Suasana pembelajaran dimana guru memuji anak karena hasil karyanya, guru mengajukan pertanyaan yang menantang, dan guru yang mendorong anak untuk melakukan percobaan, misalnya, merupakan pembelajaran yang subur seperti yang dimaksud.
Mengenal anak secara perorangan
Para siswa berasal dari lingkungan keluarga yang bervariasi dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam PAKEM (Pembelajaran Aktif, Menyenangkan, dan Efektif) perbedaan individual perlu diperhatikan dan harus tercermin dalam kegiatan pembelajaran. Semua anak dalam kelas tidak selalu mengerjakan kegiatan yang sama, melainkan berbeda sesuai dengan kecepatan belajarnya. Anak-anak yang memiliki kemampuan lebih dapat dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah (tutor sebaya). Dengan mengenal kemampuan anak, kita dapat membantunya bila mendapat kesulitan sehingga belajar anak tersebut menjadi optimal.
Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar
Sebagai makhluk sosial, anak sejak kecil secara alami bermain berpasangan atau berkelompok dalam bermain. Perilaku ini dapat dimanfaatkan dalam pengorganisasian belajar. Dalam melakukan tugas atau membahas sesuatu, anak dapat bekerja berpasangan atau dalam kelompok. Berdasarkan pengalaman, anak akan menyelesaikan tugas dengan baik bila mereka duduk berkelompok. Duduk seperti ini memudahkan mereka untuk berinteraksi dan bertukar pikiran. Namun demikian, anak perlu juga menyelesaikan tugas secara perorangan agar bakat individunya berkembang.
Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah
Pada dasarnya hidup ini adalah memecahkan masalah. Hal ini memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menganalisis masalah; dan kreatif untuk melahirkan alternatif pemecahan masalah. Kedua jenis berpikir tersebut, kritis dan kreatif, berasal dari rasa ingin tahu dan imajinasi yang keduanya ada pada diri anak sejak lahir. Oleh karena itu, tugas guru adalah mengembangkannya, antara lain dengan sering-sering memberikan tugas atau mengajukan pertanyaan yang terbuka. Pertanyaan yang dimulai dengan kata-kata “Apa yang terjadi jika …” lebih baik daripada yang dimulai dengan kata-kata “Apa, berapa, kapan”, yang umumnya tertutup (jawaban betul hanya satu).
Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik
Ruang kelas yang menarik merupakan hal yang sangat disarankan dalam PAKEM. Hasil pekerjaan siswa sebaiknya dipajangkan untuk memenuhi ruang kelas seperti itu. Selain itu, hasil pekerjaan yang dipajangkan diharapkan memotivasi siswa untuk bekerja lebih baik dan menimbulkan inspirasi bagi siswa lain. Yang dipajangkan dapat berupa hasil kerja perorangan, berpasangan, atau kelompok. Pajangan dapat berupa gambar, peta, diagram, model, benda asli, puisi, karangan, dan sebagainya. Ruang kelas yang penuh dengan pajangan hasil pekerjaan siswa, dan ditata dengan baik, dapat membantu guru dalam PEMBELAJARAN karena dapat dijadikan rujukan ketika membahas suatu masalah.
Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
Lingkungan (fisik, sosial, atau budaya) merupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar anak. Lingkungan dapat berperan sebagai media belajar, tetapi juga sebagai objek kajian (sumber belajar). Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat anak merasa senang dalam belajar. Belajar dengan menggunakan lingkungan tidak selalu harus keluar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk menghemat biaya dan waktu. Pemanfaatan lingkungan dapat men-gembangkan sejumlah keterampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat, merumuskan pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasi, membuat tulisan, dan membuat gambar/diagram.
Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar
Mutu hasil belajar akan meningkat bila terjadi interaksi dalam belajar. Pemberian umpan balik dari guru kepada siswa merupakan salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa. Umpan balik hendaknya lebih mengungkap kekuatan daripada kelemahan siswa. Selain itu, cara memberikan umpan balik pun harus secara santun. Hal ini dimaksudkan agar siswa lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas belajar selanjutnya. Guru harus konsisten memeriksa hasil pekerjaan siswa dan memberikan komentar dan catatan. Catatan guru berkaitan dengan pekerjaan siswa lebih bermakna bagi pengembangan diri siswa daripada hanya sekedar angka.
Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental
Banyak guru yang sudah merasa puas bila menyaksikan para siswa kelihatan sibuk bekerja dan bergerak. Apalagi jika bangku dan meja diatur berkelompok serta siswa duduk saling berhadapan. Keadaan tersebut bukanlah ciri yang sebenarnya dari PAKEM. Aktif mental lebih diinginkan daripada aktif fisik. Sering bertanya, mempertanyakan gagasan orang lain, dan mengungkapkan gagasan merupakan tanda-tanda aktif mental. Syarat berkembangnya aktif mental adalah tumbuhnya perasaan tidak takut: takut ditertawakan, takut disepelekan, atau takut dimarahi jika salah. Oleh karena itu, guru hendaknya menghilangkan penyebab rasa takut tersebut, baik yang datang dari guru itu sendiri maupun dari temannya. Berkembangnya rasa takut sangat bertentangan dengan ‘PAKEMenyenangkan.’
C. Bagaimana Pelaksanaan PAKEM?
Gambaran PAKEM diperlihatkan dengan berbagai kegiatan yang terjadi selama PEMBELAJARAN. Pada saat yang sama, gambaran tersebut menunjukkan kemampuan yang perlu dikuasai guru untuk menciptakan keadaan tersebut. Berikut tabel beberapa contoh kegiatan pembelajaran dan kemampuan guru.
Kemampuan Guru
Pembelajaran
Guru menggunakan alat bantu dan sumber belajar yang beragam.
Sesuai mata pelajaran, guru menggunakan, misal:
Alat yang tersedia atau yang dibuat sendiri
Gambar
Studi kasus
Nara sumber
Lingkungan

Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan.
Siswa:
Melakukan percobaan, pengamatan, atau wawancara
Mengumpulkan data/jawaban dan mengolahnya sendiri
Menarik kesimpulan
Memecahkan masalah, mencari rumus sendiri
Menulis laporan/hasil karya lain dengan kata-kata sendiri
Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya sendiri secara lisan atau tulisan.
Melalui:
Diskusi
Lebih banyak pertanyaan terbuka
Hasil karya yang merupakan pemikiran anak sendiri
Guru menyesuaikan bahan dan kegiatan belajar dengan kemampuan siswa.
Siswa dikelompokkan sesuai dengan kemampuan (untuk kegiatan tertentu)
Bahan pelajaran disesuaikan dengan kemampuan kelompok tersebut.
Tugas perbaikan atau pengayaan diberikan
Guru mengaitkan PEMBELAJARAN dengan pengalaman siswa sehari-hari.
Siswa menceritakan atau memanfaatkan pengalamannya sendiri.
Siswa menerapkan hal yang dipelajari dalam kegiatan sehari-hari
Menilai PEMBELAJARAN dan kemajuan belajar siswa secara terus menerus.
Guru memantau kerja siswa
Guru memberikan umpan balik

Selasa, 09 Desember 2008

KTSP ANTARA KUALITAS DAN REALITA PENDIDIKAN INDONESIA


Oleh: Damaskus Beny

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional.Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada SI dan SKL serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Selain dari itu, penyusunan KTSP juga harus mengikuti ketentuan lain yang menyangkut kurikulum dalam UU 20/2003 dan PP 19/2005. Panduan yang disusun BSNP terdiri atas dua bagian. Pertama, Panduan Umum yang memuat ketentuan umum pengembangan kurikulum yang dapat diterapkan pada satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang terdapat dalam SI dan SKL.Termasuk dalam ketentuan umum adalah penjabaran amanat dalam UU 20/2003 dan ketentuan PP 19/2005 serta prinsip dan langkah yang harus diacu dalam pengembangan KTSP. Kedua, model KTSP sebagai salah satu contoh hasil akhir pengembangan KTSP dengan mengacu pada SI dan SKL dengan berpedoman pada Panduan Umum yang dikembangkan BSNP. Sebagai model KTSP, tentu tidak dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan hendaknya digunakan sebagai referensi.
Panduan pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk :belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,belajar untuk memahami dan menghayati,belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, danbelajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.A. LandasanUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Ketentuan dalam UU 20/2003 yang mengatur KTSP, adalah Pasal 1 ayat (19); Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 32 ayat (1), (2), (3); Pasal 35 ayat (2); Pasal 36 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3); Pasal 38 ayat (1), (2).Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.Ketentuan di dalam PP 19/2005 yang mengatur KTSP, adalah Pasal 1 ayat (5), (13), (14), (15); Pasal 5 ayat (1), (2); Pasal 6 ayat (6); Pasal 7 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8); Pasal 8 ayat (1), (2), (3); Pasal 10 ayat (1), (2), (3); Pasal 11 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 13 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 14 ayat (1), (2), (3); Pasal 16 ayat (1), (2), (3), (4), (5); Pasal 17 ayat (1), (2); Pasal 18 ayat (1), (2), (3); Pasal 20.Standar IsiSI mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Termasuk dalam SI adalah : kerangka dasar dan struktur kurikulum, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah. SI ditetapkan dengan Kepmendiknas No. 22 Tahun 2006.Standar Kompetensi LulusanSKL merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagaimana yang ditetapkan dengan Kepmendiknas No. 23 Tahun 2006.B. Tujuan Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Tujuan Panduan Penyusunan KTSP ini untuk menjadi acuan bagi satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.
C. Pengertian
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi , kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
D. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP .
KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.Beragam dan terpaduTanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seniRelevan dengan kebutuhan kehidupanMenyeluruh dan berkesinambunganBelajar sepanjang hayatSeimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

Senin, 08 Desember 2008

Sample Format RPP

Oleh: Damaskus Beny

Nama Sekolah : ...........
Kelas/Semester : ...........

Mata Pelajaran : ...........
Waktu : ..........
1. Kompetensi Dasar : Kemampuan anak untuk mengenal dan mengetahui tentang magnet,
2. Topik : Magnet.
3. Indikator :
Setelah mendengarkan penjelasan guru dan contoh yang dipraktekan guru, siswa dapat mengetahui pengertian magnet, dan bagaimana pengaruh magnet tersebut terhadap benda lain. Ketika guru bertanya secara lisan tentang pengertian magnet dan pengaruh magnet terhadap benda lain mereka bisa menjawab dengan baik.
Siswa bisa membedakan benda-benda yang bisa ditarik oleh magnet dan benda-benda yang tidak bisa ditarik oleh magnet. Ketika guru memperagakan di depan kelas, guru melibatkan beberapa siswa ikut terlibat langsung sehingga mereka akan mengetahui benda-benda yang bisa ditarik oleh magnet dan benda-benda yang tidak bisa ditarik oleh magnet. Selanjutnya guru menanyakan kepada siswa-siwa secara lisan benda-benda yang bisa ditarik oleh magnet dan benda-benda yang tidak bisa ditarik oleh magnet ternyata mereka bisa menjawab dengan baik.
4. Tujuan :
Tujuan dari penyampaian materi Magnet ini adalah agar para siswa mengetahui apa itu magnet, bagaimana pengaruh magnet terhadap benda lain, serta siswa dapat membedakan benda-benda yang dapat ditarik oleh magnet dan benda-benda yang tidak dapat ditarik oleh magnet.
5. Kelas/Semester : V/I
6. Metode Pembelajaran : Bermain peran dan Demonstrasi.
Menggunakan metode bermain peran karena siswa dilibatkan langsung dalam praktek yang dilakukan oleh guru di depan kelas. Sedangkan menggunakan metode Demonstrasi karena guru dalam penyampaian materi meminta beberapa siswa untuk menyebutkan secara lisan pengertian dari magnet, pengaruh magnet terhadap benda lain, benda-benda yang dapat dan tidak dapat ditarik oleh magnet.
7. Ranah :
Ranah yang ditekankan dalam penyampaian materi ini adalah Kognitif dan Psikomotorik karena penyampaian materi magnet ini untuk meningkatkan kemampuan akdemik dan keterampilan para siswa dibidang Fisika.
8. Gambaran Kelas :
Jumlah siswa terdiri dari 42 siswa dengan tife belajar Diverging sebanyak 10 siswa, tife belajar Assimilating sebanyak 8 siswa, tife belajar Converging sebanyak 9 siswa, tife belajar Accommodating sebanyak 12 siswa, tife belajar Assimilating dan Converging sebanyak 1 siswa, tife belajar Converging dan Accommodating sebanyak 1 siswa, tife belajar Accommodating dan Diverging sebanyak 1 siswa, tidak tahu sebanyak 2 siswa.
9. Media Pembelajaran : Alat Peraga.
Menggunakan alat peraga berupa beberapa buah magnet, benda-benda yang bisa dan tidak bisa ditarik oleh magnet. Penggunaan peraga ini sebagai media agar dalam penyampai materi lebih mudah, begitu juga dengan para siswa akan lebih tahu, paham dan mengerti tentang tujuan dari penyampaian materi.
10. Ringkasan Materi :
Magnet yang pertama kali di temukan di Magnesia Asia Kecil yang berupa Magnet Alam yang terdapat pada batuan. Yang dimaksud dengan magnet adalah sesuatu yang berupa besi yang mempunayai satu atau dua kutub yaitu kutub utara dan selatan atau salah satu kutubnya saja yang bisa menarik atau mempengaruhi bahan-bahan yang berupa besi dan baja. Sedangkan bahan-bahan yang berupa plastik, kayu, kaca, alumunium seng, tembaga dll merupakan bahan yang tidak bisa ditarik atau dipengaruhi oleh magnet.
11. Langkah-langkah Pembelajaran :
Kegiatan awal
Guru memberikan salam pembuka dan mengajak para siswa berdoa terlebih dahulu, (jika jam pertama masuk).
Guru mengajukan beberapa pertanyaan tentang keadaan siswa dan hal-hal yang berhubungan dengan materi yang akan disampaikan. Dari pertanyaan tersebut beberapa siswa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru.
Kegiatan Inti
Guru menjelaskan pengertian magnet dan para siswa menyimak secara seksama.
Guru memberikan contoh dengan menggunakan alat peraga, sementara siswa memperhatikan dengan seksama.
Setelah memberikan contoh, guru menyuruh salah satu atau beberapa siswa untuk melakukan praktek di depan kelas mengenai pengaruh magnet terhadap benda lain.
Kegiatan Akhir
Guru membuat kesimpulan materi yang telah disampaikan.
Tes bisa dilakukan secara tes lisan dan tertulis atau berupa pekerjaan rumah (PR).
Guru memberikan salam penutup tanda berakhirnya pelajaran.
12. Penilaian :
Dalam proses kegiatan belajar mengajar, khususnya materi ini yang dinilai adalah keaktifan dalam mengikuti pelajaran, kemampuan dalam menjawab pertanyaan baik pertanyaan yang lisan maupun tertulis, serta keseriusan dalam proses kegiatan belajar mengajar.
13. Kriteria Penilaian :
Kriteria penilaian yaitu sebagai berikut :
· Untuk pertanyaan lisan 1 soal mendapat nilai sebagai bonus 2.
· Untuk petanyaan tertulis, karena soal yang diberikan sebanyak 3 soal maka masing-masing soal bernilai sama yaitu 30 untuk 1 soal.
· Untuk keaktifan masing-masing siswa mendapat nilai 5.
· Untuk keseriusan dalam proses belajar mengajar maka masing-masing siswa mendapat nilai 5 untuk keseriusan mereka.
· Jumlah dari kriteria penilaian tersebut yaitu 100+bonus 2=102.
· Bonus ini bertujuan agar siswa termotivasi dalam proses kegiatan belajar mengajar.
14. target Keberhasilan :
Dalam proses kegiatan belajar mengajar, khususnya penyampaian materi ini target keberhasilan yang ingin dicapai adalah 75-80%.
15. Sumber : Pendidikan IPA, oleh: Jenny R.E. Kaligis dan Hedro Darmodjo. 1991/1992, halaman 83.