Rabu, 29 April 2009

UN CIPTAKAN KETIDAKADILAN


Oleh: Petrus Darwin
Mahasiswa PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

Walaupun banyak menuai pro dan kontra tentang pelaksanaan ujian nasional, pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Bambang Sudibyo, tetap akan menyelenggarakan Ujian nasional (UN) pada tahun 2009, bahkan untuk tahun ini standar kelulusan dinaikan menjadi 5,50.
Pertanyaan bagi kita, Apakah langkah yang diambil oleh pemerintah dalam pelaksanaan ujian nasional dengan mematok standar kelulusan yang tinggi mutu pendidikan kita akan semakin baik?
Memang benar seperti yang telah kita ketahui selama ini, sejak ditetapkanya keputusan menteri pendidikan nasional No.153/U/2003, tentang ujian akhir nasional, bahwa salah satu tujuan diselenggarakanya ujian nasional adalah untuk mengukur kualitas pendidikan di tanah air serta mengukur pencapaian hasil belajar siswa. tetapi apabila kita bercermin pada pelaksanaan UN pada tahun-tahun sebelumnya, ternyata pelaksanaan ujian nasional masih menyisakan banyak masalah, dan boleh di katakan gagal dalam memperbaiki kualitas pendidikan kita.
Jika pemerintah ingin memperbaiki kualitas pendidikan di tanah air, tidak cukup hanya menaikan nilai yang tinggi dalam UN, tanpa peningkatan dan memperhatikan aspek yang lain. Menurut penulis Yang lebih penting dilakukan oleh pemerintah dalam memperbaikai kualitas pendidikan saat ini adalah benahi dulu permasalahan-permasalahan dasar yang terjadi dalam bidang pendidikan, seperti masalah pembangunan infrastruktur/sarana dan prasarana sekolah, misalnya gedung sekolah yang sudah tidak layak pakai perlu direnovasi demi kenyamanan siswa dalam belajar, menyediaan fasilitas yang mendukung dalam kegiatan belajar mengajar dikelas (buku paket/sumber belajar yang lengkap dan media pembelajaran yang memadai), serta penyediaan tenaga Guru/pengajar yang cukup dan berkualitas dalam suatu sekolah. Kalau semua itu telah dibenahi oleh pemerintah, tidak menutup kemungkinan mutu pendidikan kita akan semaikn baik dan standar kelulusan yang tinggi dapat di capai oleh siswa. Sebab pertanyaannya bagi kita, bagaimana mungkin standar kelulusan 5,50 bisa di capai oleh siswa , jika dalam suatu sekolah gedungnya bocor dan ruang belajarnya rusak parah dan hampir ambruk, apakah suasana belajar dikelas akan berlangsung dengan baik, dan bagaimana mungkin apabila sarana dan prasarana penunjang dalam kegiatan belajar mengajar di kelas sangat minim, apakah guru bisa menyampaikan materi pelajaran dengan efektif, serta bagaimana mungkin juga jika dalam suatu sekolah hanya di ajarkan oleh satu atau dua orang guru, seperti yang terjadi di sekolah-sekolah yang ada di daerah pedalaman saat ini, Apakah para siswa bisa optimal dalam menerima pelajaran? Apakah mereka itu sama siapnya dengan siswa-siswi di sekolah favorit yang ada di kota besar dalam mengikuti UN?. Hal ini lah tampaknya yang belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah pusat. Saat ini pemerintah hanya bisa mematok nilai yang tinggi dalam UN tanpa pernah memikirkan dan memperhatikan aspek yang lain. Menurut penulis kalau pemerintah mau menyelenggarakan ujian nasional, standar kelulusan tidak boleh di samaratakan di seluruh indonesia, tetapi harus ada pembedaan antara daerah yang mutu pendidikannya rendah dengan sekolah yang mutu pendidikannya lebih baik/maju, agar tercipta keadilan dalam dunia pendidikan.
Kita semua tentu setuju dan mendukung langkah yang diambil oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di indonesia, tetapi tentu dengan cara yang bijaksana dan tidak menimbulkan masalah baru. Selama ini pernahkah pemerintah memikirkan akibat yang ditimbulkan dari pelaksanaan UN?, padahal Apabila kita bercermin pada pelaksanaan UN tahun-tahun sebelumnya, banyak permasalahan yang terjadi, misalnya banyak siswa yang mati bunuh diri gara-gara tidak lulus UN, banyak siswa yang stres dan tertekan, banyak pahlawan yang namanya Guru digrebek oleh polisi gara-gara guru dituduh membocorkan soal UN kepada anak didik. Dan masih banyak masalah-masalah lain berkaitan dengan pelaksanaan UN.
Kini pelaksanaan UN tahun 2009 sudah diambang pintu, para siswa sudah mulai sibuk mempersiapkan diri, berbagi cara telah dilakukan oleh para siswa mulai dari les, tes dan bimbingan belajar lainnya. siang malam tak sempat tidur nyenyak, siswa yang akan menempuhnya terasa pusing, was-was dan cemas, bagaimana tidak, bayangkan saja jerih payah selam 3 tahun berjuang, nasib mereka hanya di tentukan dengan hitungan jam saja oleh kebijakan pemerintah yang namanya UN. Pelaksanaan UN banyak menelan korban dan biaya, bayangkan saja berapa ratus ribu nantinya siswa SLTP tidak bisa melanjutkan ke SLTA, dan sebaliknya juga para siswa SLTA tidak bisa masuk keperguruan tinggi, terutama para siswa yang tinggal di daerah pedalaman, gara-gara mereka tidak lulus UN. Mereka telah kehilangan kesempatan untuk meraih cita-cita dan masa depan yang lebih baik, para siswa yang ada di sekolah pedalaman kalah bersaingan dengan siswa yang memiliki fasilitas lengkap dalam belajar, terutama sekolah yang ada di kota. Sungguh menyakitkan, ternyata kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan UN hanya dapat menciptakan ketidakadilan dalam dunia pendidikan.

BELUM DEWASA DALAM BERDEMOKRASI

Oleh : Petrus Darwin
Mahasiswa PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Yogyakarta
Asal Ketapang, Kalimantan Barat..

Pelaksanaan pemilu legislatif pada tanggal 9 April 2009 yang baru kita laksanakan beberapa minggu yang lalu, selain menguras dana negara yang begitu besar, pelaksanaan pemilu legislatif kali ini juga menyebabkan jatuh korban, terutama yang dialami oleh para caleg, mulai dari depresi, setres sampai ada caleg yang nekad bunuh diri.
Tidak salah lagi apa yang telah diperkirakan banyak orang sebelumnya, bahwa pelaksanaan pemilu legislatif yang akan digelar pada tanggal 9 April 2009 itu akan menimbulkan banyak permasalahan, hal tersebut terbukti hingga hari ini banyak laporan yang masuk pada Bawaslu terkait pelanggaran atau permasalahan itu. namun permasalahan yang sangat memprihatinkan yang jarang atau boleh dikatakan belum pernah terjadi/di jumpai pada pelaksanaan pemilu sebelumnya adalah, adanya fenomena caleg setres dan bunuh diri gara-gara tidak terpilih menjadi anggota legislatif. Pertanyaan bagi kita mengapa para caleg nekad berbuat demikian? Menurut penulis ada beberapa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut:
Pertama, pelaksanaan sistem demokrasi di negara kita relatif baru atau muda, yaitu baru dimulai sejak bergulirnya era repormasi, walaupun pada kenyataannya saat ini negara kita dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia versi Amerika Serikat, namun secara mental bangsa kita belum dewasa dalam berdemokrasi, terutama para politisi kita. disinilah kita perlu belajar banyak dari Amerika Serikat yang merupakan negara demokrasi nomor satu di dunia, kita ambil contoh saja, belum lama ini di Amerika Serikat baru saja melaksanakan pemilu presiden, antara Barack Obama dari partai demokrat dan Jhon Machain dari partai republik, yang mana dalam pertarungan tersebut berhasil dimenangkan oleh Barack Obama mengalahkan rival beratnya Jhon Machain. Selama kampanye, tidak jarang di temui berbagai kritikan atau pernyataan keras yang dilontarkan oleh kedua belah pihak, kedua kubu saling beradu argumen di setiap forum, mereka saling menyalahkan dan tuding menuding untuk menjatuhkan lawan. Namun apa yang terjadi, setelah pemilihan dilangsungkan dan penghitungan suara selesai dan diketahui pemenangnya adalah barack obama, Jhon Machain langsung memberikan ucapan selamat kemenangan dan mendukung sepenuhnya kepada Barack Obama sebagai presiden terpilih Amerika Serikat, Jhon Machain menerima kekalahannya dengan lapang dada dan berjiwa besar. Sikap seperti inilah yang belum di miliki oleh politisi kita di negeri ini, para politisi/caleg kita hanya siap menang tetapi tidak siap kalah, sehingga ketika mereka tidak terpilih dalam pemilu legislatif seperti saat ini, mental mereka tidak siap menerima kenyataan, akibatnya mereka mengalami guncangan dan gangguan jiwa.
Kedua, berubahnya sistem pemilu, seperti kita ketahui bersama, bahwa sistem pemilu legislatif kali ini berbeda dengan sistem pemilu sebelumnya. Jika pada sistem pemilu sebelumnya kemenangan seorang caleg di tentukan oleh nomor urut, dalam arti, siapa yang memperoleh nomor urut paling atas besar kemungkinan akan terpilih sebagai anggota legislatif, walaupun pada kenyataannya seorang calag tersebut tidak memperoleh suara terbanyak. berbeda dengan pelaksanaan pemilu legislatif yang kita laksanakan baru-baru ini, pada pemilu kali ini, seperti yang telah diputuskan oleh mahkamah konstitusi (MK), bahwa kemenangan seorang caleg ditentukan oleh suara terbanyak. Dengan sistem seperti ini, seorang caleg dituntut untuk bekerja keras dengan segala daya, tenaga, pikiran dan dana agar dirinya bisa terpilih. terjadi persaingan yang cukup ketat antarcaleg, sehingga demi mewujudkan ambisinya para caleg rela berkorban habis-habisan dengan mengeluarkan banyak uang untuk meraih simpati dan suara dari para pemilih. Akibatnya ketika perjuangan mereka yang begitu besar itu hanya menghasilkan suara pemilih yang minim, para caleg merasa harga diri dan martabatnya tidak dihargai sebesar pengorbanan yang telah mereka keluarkan.
Ketiga, banyaknya orang yang mendaftar jadi caleg, yang merupakan konsekuensi dari banyaknya partai yang ikut dalam pemilu. Padahal jumlah kursi yang tersedia di lembaga legislatif tidak sebanding dengan jumlah orang yang mendaftar jadi caleg. Hal ini disebabkan karena adanya persepsi bahwa dengan menjadi anggota legislatif dapat memperbaiki nasib hidup atau meningkatkan taraf hidup seseorang, lembaga legislatif di jadikan tempat mencari nafkah. Sehingga untuk mewujudkan impian tersebut, pada saat kampanye selain mengeluarkan harta benda dan uang milik pribadi, para caleg juga nekad untuk meminjam uang pada keluarga atau pun orang lain. sehingga ketika mereka kalah dalam kompetisi, beban hidup mereka semakin bertambah berat, karena selain harta benda dan uang milik pribadi sudah habis, mereka juga mempunyai tanggungjawab untuk mengembalikan dana yang sudah dipinjam pada orang lain pada saat kampanye.
Semoga kejadian seperti ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita, kedepannya diharapkan agar para parpol untuk lebih selektif dalam menentukan calegnya, yaitu dengan mempertimbangkan kesehatan fisik dan mental, agar perisriwa serupa tidak terulang lagi.



Minimnya Pengamanan Daerah Perbatasan

Oleh : Petrus Darwin
Mahasiswa PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Yogyakarta
Asal Ketapang, Kalimantan Barat..

Secara geografis negara kesatuan Republik Indonesia berbatasan dengan banyak negara, baik di darat maupun dilaut. Wilayah darat misalnya, indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia, Papua Nugini dan Timor Lorosae, sedangkan Wilayah laut berbatasan dengan 10 negara yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Republik Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Lorosae(Kompas 23/2 2009).
Letak wilayah indonesia yang banyak berbatasan dengan beberapa negara tersebut, menunjukan bahwa indonesia merupakan suatu negara yang memiliki wilayah yang sangat besar dan luas, yang kaya akan sumber daya alam, apabila dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, potensi yang di miliki itu dapat menjadi aset negara yang tak ternilai harganya, bagi perkembangan dan kemakmuran rakyat indonesia.
Namun sungguh ironis, negara yang memiliki wilayah yang sangat luas serta kekayaan alam yang berlimpah ruah baik di darat maupun di laut itu, ternyata rakyatnya masih miskin dan terbelakang, terutama bagi rakyat yang tinggal di daerah perbatasan. Pertanyaan bagi kita, mengapa hal itu bisa terjadi?
Menurut penulis ada beberapa hal yang melatar belakangi masalah tersebut, pertama, sistem pengamanan daerah perbatasan di negara kita yang tidak memadai, sehingga menyebabkan terjadinya pencurian dan penjarahan sumber kekayaan alam. Sebagai contoh, perbatasan wilayah laut kita yang begitu luas, yang terdiri dari banyak pulau, tapi karena minimnya sistem pengamanan, banyak kekayaan alam di laut kita di eksploitasi oleh negara lain/ negara tetangga, seperti penambangan pasir, penangkapan ikan, dan penambangan minyak dan gas bumi. Sedangkan untuk wilayah darat, kita juga masih menyisakan banyak permasalahan, seperti yang terjadi di daerah penulis sendiri yaitu di kalimantan barat yang berbatasan langsung dengan negara tetangga malaysia, di daerah ini terkenal kaya dengan sumber daya alamnya, tetapi karena minimnya sistem pengawasan, banyak hasil hutan dan tambang di curi dan diselundupkan ke negara tetangga malaysia. akibatnya negara kita mengalami kerugian yang sangat besar, belum lagi yang terjadi di daerah perbatasan lain. Yang kedua, pemerintah memandang sebelah mata wilayah perbatasan, seperti kita ketahui selama ini, pembangunan dari pemerintah tidak pernah menyentuh daerah perbatasan, akibatnya daerah perbatasan sangat miskin dan tertinggal, terutama dalam bidang ekonomi, pembangunan infrastruktur, seperti jalan yang merupakan jalur utama penghubung antar kota dan desa sangat minim. Masyarakat kesulitan dalam berbelanja atau memasarkan hasil alamnya ke kota untuk memenuhi kebutuhan hidup seharai-hari. Kondisi seperti itu dapat membuat masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan merasa di anaktirikan, karena mereka mendapatkan perlakuan tidak adil dari pemerintah pusat, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka lebih baik menjual kekayaan alamnya kenegara tetangga, selain mudah dijangkau karena jaraknya dekat, secara ekonomis juga lebih menguntungkan. Yang ketiga pemerintah RI belum memenuhi kewajibannya terhadap penentuan tapal batas daerah perbatasan, baik darat maupun laut. Misalnya saja, di wilayah laut, Indonesia selama ini mengklaim memiliki 17.508 pulau, baik besar maupun kecil, tetapi tidak ada dokumen resmi yang mendukung pernyataan tersebut. Dari sekian banyak pulau itu, masih ada sebagian yang belum punya nama, terutama pulau-pulau terluar. sampai di caploknya pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia dari pangkuan ibu pertiwi, sampai saat ini, indonesia belum mempunyai badan otoritas yang resmi untuk mengurus masalah penamaan pulau tersebut, Apabila hal ini tidak di antisifasi secara dini, bukan tidak mungkin pulau-pulau terluar lainya yang tidak diketahui dan belum punya nama akan di caplok lagi oleh negara lain. Belum lagi di wilayah perbatasan darat, tapal batas ke dua negara hanya di beri tanda (patok) dari papan kayu yang bertuliskan perbatasan antar negara, tanpa disertai adanya pagar pembatas ataupun bangunan lainya yang menandakan bahwa itu adalah sebuah patokan perbatasan antar negara. Kondisi seperti ini dapat di manfaatkan oleh negara tetangga untuk memindahkan posisi / menggeser patok tersebut untuk memperluas wilayahnya.
Dengan melihat kondisi yang terjadi di daerah perbatasan, seperti yang telah di kemukakan di atas, menurut penulis ada beberapa langkah atau solusi yang sebaiknya di ambil / di tempuh oleh pemerintah berkaitan dengan daerah perbatasan ini. yang pertama, pemerintah harus mengintensifkan pengamanan daerah perbatasan, yaitu dengan mengerahkan setiap personil keamanan di semua titik perbatasan yang di lengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai, yang kedua pemerintah segera melaksanakan pembangunan infrasrtuktur di daerah perbatasan, baik darat maupun laut untuk mempercepat / mempermudah akses dan mobilitas pengamanan, yang ke tiga pemerintah harus punya perhatian lebih terhadap tingkat kesejahtaraan masyarakat perbatasan, yaitu dengan menggalakan program-program pembangunan di bidang ekonomi, agar kekayaan alam yang ada di daerah perbatasan dapat di manfaatkan secara oftimal, Dan yang ke empat pemerintah harus segera mengidentifikasi / menentukan tapal batas daerah perbatasan, yaitu dengan membuat pagar pembatas bagi wilayah darat dan memberi nama bagi pulau yang sulit di jangkau, agar tidak di klaim oleh negara lain sehingga kita tidak mengalami kerugian. Apabila semua langkah ini di laksanakan oleh pemerintah dengan baik, niscaya wilayah indonesia yang begitu luas, yang kaya akan sumber daya alamnya, dapat di manfaatkan demi kemakmuran rakyat indonesia.

MENYIKAPI UNJUK RASA ANARKIS DI MEDAN


0leh : Petrus Darwin
Mahasiswa PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Yogyakarta
Asal Ketapang, Kalimantan Barat.

Sejak bergulirnya era repormasi yang dipelopori oleh mahasiswa pada tahun 1998 hingga sekarang, berbagai aksi unjuk rasa turut mewarnai kehidupan demokrasi dinegara kita.
Setelah sekian lama kita hidup dalam sebuah tekanan, kekangan, ketakutan serta cengkraman pada saat pemerintahan orde baru berkuasa dengan rezim otoriternya, akhirnya kita dapat juga keluar dari belenggu kekuasaan itu dengan menghirup udara kebebasan yang dinamakan era repormasi, yang hingga hari ini sudah kita jalani sekitar 10 tahun lebih. Tapi pertanyaannya bagi kita, apakah kehidupan yang kita jalani saat ini sudah sesuai dengan tujuan atau arah repormasi yang sebenarnya?
Sebelum penulis uraikan lebih lanjut tentang repormasi, terlebih dahulu kita harus tau apa pengertian repormasi. Menurut kamus besar bahasa indonesia, repormasi berarti perubahan radikal dalam berbagai bidang kehidupan, seperti bidang sosial, politik atau agama dalam suatu masyarakat atau negara. Tentu perubahan yang dimaksud disini adalah perubahan untuk ke arah perbaikan, perubahan dari pola hidup lama kepola hidup baru, perubahan dari kebobrokan, kemunafikan serta kekuasaan yang otoriter pada kehidupan masa lalu, menuju perubahan hidup yang lebih beradab serta demokratis dalam berbagai sendi kehidupan.
Sekadar ilustrasi dari gerakan repormasi ini, penulis ambil contoh sejarah repormasi gereja yang terjadi dieropa pada abad ke 16, dimana pada waktu itu gereja katolik roma dibawah kekuasaan paus mendominasi kehidupan beragama/ menggereja dalam berbagai bidang kehidupan. para biarawan dan biarawati geraja melakukan penyimpangan terhadap ajaran gereja, institusi gereja dijadikan alat oleh para paus untuk mencapai kekuasaannya, para paus hidup dalam kemewahan duniawi. Karena melihat para paus/ pemimpin gereja hidup sudah tidak sesuai dengan ajaran gereja lagi, maka timbul lah sebuah gerakan dalam lembaga gereja itu, yang dinamakan gerakan repormasi gereja, dengan tokoh Martin luther. Gerekan repormasi gereja ini bertujuan untuk membebaskan diri dari kekuasaan paus yang otoriter, serta menata kembali kehidupan gereja pada jalan yang benar.
Ilustrasi tadi dapat kita bandingkan dengan perjalanan repormasi dinegara kita. Sejak pemerintahan presiden Soeharto berkuasa dengan rezim orde barunya, kita hidup dibawah tekanan dan bayang-bayang ketakutan, hak dan kebebasan warga negara dipasung, akibatnya kita hidup dibawah belenggu kekuasaan para penguasa. Keadaan yang demikian membuat para kaum muda / mahasiswa kita merasa prihatin terhadap nasib bangsa ini, akhirnya mereka melakuan perlawanan/ gerakan pada tahun 1998 yang dikenal dengan gerakan repormasi.
Lalu, sekarang kita sudah hidup di alam repormasi,lantas apa yang kita dapatkan ? sepertinya repormasi yang kita dengungkan selama ini sia-sia saja. repormasi telah dikhianati oleh sekelompok orang yang ingin berkuasa. repormasi di identikan dengan kebebasan, semua orang bebas untuk melakuan apa saja tanpa batas. Sejak bergulirnya repormasi, hampir setiap hari kehidupan di tanah air kita selalu diwarnai oleh demo atau unjuk rasa dalam menyampaikan aspirasi/ kehendak, tapi sayangnya aspirasi yang disampaikan lewat demo atau unjuk rasa itu sering kali dilakukan secara anarkis.
Sebagai contoh yang sangat menghebohkan terjadi baru-baru ini, aksi unjuk rasa anarkis Di kantor DPRD Sumatera Utara yang menuntut pemekaran wilayah tapanuli menjadi sebuah propinsi baru. sebagai Akibatnya ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat meninggal dunia. Sangat memprihatinkan sekali, dalam menyampaikan aspirasi para demonstran telah kehilangan akal sehatnya, demokrasi kita ternyata harus dibayar mahal dengan merenggut nyawa seseorang. Lalu pertanyaanya bagi kita, apa peran aparat keamanan dalam hal ini dan bagaimana sebaiknya pengaturan aksi unjuk rasa agar tak mengarah ke anarkisme? Menurut penulis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh aparat keamanan/polisi untuk mengatasi aksi unjuk rasa agar tak anarkis: pertama, polisi harus menerjunkan personil yang lebih banyak dalam menghadapi para pendemo, bila perlu antara polisi dan pendemo jumlahnya imbang, sehingga polisi tidak kewalahan dalam menghadapi massa dan situasi dapat terkontrol dengan baik. kedua, polisi harus segra menindak tegas/menangkap oknum yang melakukan kerusuhan, agar tak memancing massa yang lain. yang ketiga, adanya koordinasi yang baik antar personil dilapangan serta satuan komando dari atasan, sehingga personil yang bertugas dilapangan tidak ragu-ragu dalam mengambil tindakan.



Komersialisasi Pendidikan


Oleh: Petrus Darwin
Mahasiswa PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Yogyakarta.

Setelah memakan waktu kurang lebih tiga tahun pembahasan, perumusan rancangan undang-undang badan hukum pendidikan ( BHP)akhirnya Di sahkan menjadi undang-undang oleh komisi X DPR RI melalui rapat paripurna DPR pada tanggal 17-12-2008, Banyak pihak yang menentang dan menolak terhadap pengesahan undang-undang ini terutama mahasiswa dan kalangan pengelola yayasan, karena undang-undang ini dinilai dapat mengkomersialisasikan pendidikan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terbesar ke-4 didunia, saat ini penduduk indonesia diperkirakan 200 juta lebih. Dari sekian banyak penduduk indonesia itu mayoritas rakyatnya hidup dibawah digaris kemiskinan. menurut data badan pusat statistik dalam survenya selama bulan pebruari-maret 2008 jumlah penduduk miskin indonesia sebesar 34,95 juta atau 15,42% dari total penduduk indonesia. Dari sekian banyak penduduk miskin yang ada di indonesia itu terjebak dalam kebodohan yang disebabkan oleh sebuah sistem. Rakyat kita menjadi bodoh dan terbelakang serta kekurangan informasi bukanlah keinginan mereka tetapi situasi yang membuat mereka seperti itu. Bagi orang miskin untuk mengikuti pendidikan formal menjadi sesuatu yang jauh dari angan-angan dan harapan mereka. Jangankan mau mengikuti pendidikan , untuk bisa makan pagi dan sore hari saja sudah cukup dan beruntung bagi mereka. Pendidikan yang formal seperti wajib belajar 9 tahun yang telah dicanangkan oleh pemerintah selama ini seakan-akan menjadi sesuatu yang jauh dari jalan hidup mereka, sebab untuk mengenyam atau mendapatkan sebuah pendidikan bukanlah hal yang mudah bagi mereka, tetapi membutuhkan dana yang cukup besar. Yang tidak mungkin bisa dijangkau oleh rakyat miskin.
Jika kita kembali pada UUD 1945 pasal 31 ayat 4, tertuang sebuah petunjuk bahwa, dunia pendidikan harus mendapat perhatian yang lebih dari negara, dan negara harus bertanggung jawab atas pendidikan warga negaranya. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa anggaran pendidikan untuk rakyat adalah sebanyak 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Jumlah yang besar untuk anggaran pendidikan di indonesia. Jika anggaran pendidikan sebesar 20% itu benar-benar direalisasikan bukan tidak mungkin semua rakyat indonesia bisa menikmati pendidikan terutama orang-orang miskin. Namun sangat disayangkan , hal tersebut hanya sebuah peraturan yang tidak pernah direalisasikan. Lihat saja sekarang penduduk miskin yang mau sekolah tidak ada kesempatan karena terbentur oleh kendala biaya atau dana pendidikan yang terlalu mahal.
Belum tuntas masalah kendala biaya pendidikan yang terlalu mahal, kini pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan baru yang kontroversial dalam dunia pendidikan, yaitu tentang UU badan hukum pendidikan (BHP), UU BHP ini disahkan oleh komisi X DPR pada tanggal 17 Desember 2008 melalui rapat paripurna. UU ini merupakan tindal lanjut dari UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasinal (sisdiknas). Substansi UU BHP dalam implementasinya bisa menimbulkan persoalan baru bagi dunia pendidikan. Sebab dalam UU BHP tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan akan dikurangi terutama dalam pengalokasian anggaran atau pendanaan. ini berarti negara lepas tangan atas pembiayaan pendidikan nasional . pendidikan akan diserahkan kepada pemodal untuk menyelenggarakan pendidikan yang diswastakan. akhirnya Pendidikan akan menjadi lahan bisnis bagi para pemodal baik dalam negeri maupun luar negeri. Dengan demikian mekanisme pasar telah menempatkan pendidikan sebagai komoditi yang hanya bisa diakses oleh konsumen yang mampu. UU ini tidak berpihak kepada rakyat kecil, namun sebaliknya akan menindas hak anak-anak dari keluarga kurang mampu atau miskin untuk menikmati pendidikan diperguruan tinggi. Selain itu UU BHP akan menimbulkan diskriminasi dalam bidang pendidikan antara sikaya dan simiskin. Sebab dengan diberlakukannya UU ini maka biaya pendidikan akan mahal dengan demikian hanya orang kaya atau punya uang saja yang bisa menikmati pendidikan sementara orang miskin akan semakin bodoh dan terbelakang. Langkah pemerintah untuk membentuk UU BHP ini bukanlah solusi yang tepat untuk memandirikan dan memaksimalkan kualitas pendidikan, justru dengan dibentuknya UU BHP ini hanya akan mengkomersialisasikan dunia pendidikan kita. Pendidikan yang dikomersilisasikan telah melanggar amanat UUD 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan apabila ini terjadi maka bangsa kita akan menjadi bangsa yang bodoh dan terbelakang, yang selanjutnya berpengaruh pada angka kemiskinan dinegara kita yang semakin bertambah.