Oleh: Petrus Darwin
Mahasiswa PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
Walaupun banyak menuai pro dan kontra tentang pelaksanaan ujian nasional, pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Bambang Sudibyo, tetap akan menyelenggarakan Ujian nasional (UN) pada tahun 2009, bahkan untuk tahun ini standar kelulusan dinaikan menjadi 5,50.
Pertanyaan bagi kita, Apakah langkah yang diambil oleh pemerintah dalam pelaksanaan ujian nasional dengan mematok standar kelulusan yang tinggi mutu pendidikan kita akan semakin baik?
Memang benar seperti yang telah kita ketahui selama ini, sejak ditetapkanya keputusan menteri pendidikan nasional No.153/U/2003, tentang ujian akhir nasional, bahwa salah satu tujuan diselenggarakanya ujian nasional adalah untuk mengukur kualitas pendidikan di tanah air serta mengukur pencapaian hasil belajar siswa. tetapi apabila kita bercermin pada pelaksanaan UN pada tahun-tahun sebelumnya, ternyata pelaksanaan ujian nasional masih menyisakan banyak masalah, dan boleh di katakan gagal dalam memperbaiki kualitas pendidikan kita.
Jika pemerintah ingin memperbaiki kualitas pendidikan di tanah air, tidak cukup hanya menaikan nilai yang tinggi dalam UN, tanpa peningkatan dan memperhatikan aspek yang lain. Menurut penulis Yang lebih penting dilakukan oleh pemerintah dalam memperbaikai kualitas pendidikan saat ini adalah benahi dulu permasalahan-permasalahan dasar yang terjadi dalam bidang pendidikan, seperti masalah pembangunan infrastruktur/sarana dan prasarana sekolah, misalnya gedung sekolah yang sudah tidak layak pakai perlu direnovasi demi kenyamanan siswa dalam belajar, menyediaan fasilitas yang mendukung dalam kegiatan belajar mengajar dikelas (buku paket/sumber belajar yang lengkap dan media pembelajaran yang memadai), serta penyediaan tenaga Guru/pengajar yang cukup dan berkualitas dalam suatu sekolah. Kalau semua itu telah dibenahi oleh pemerintah, tidak menutup kemungkinan mutu pendidikan kita akan semaikn baik dan standar kelulusan yang tinggi dapat di capai oleh siswa. Sebab pertanyaannya bagi kita, bagaimana mungkin standar kelulusan 5,50 bisa di capai oleh siswa , jika dalam suatu sekolah gedungnya bocor dan ruang belajarnya rusak parah dan hampir ambruk, apakah suasana belajar dikelas akan berlangsung dengan baik, dan bagaimana mungkin apabila sarana dan prasarana penunjang dalam kegiatan belajar mengajar di kelas sangat minim, apakah guru bisa menyampaikan materi pelajaran dengan efektif, serta bagaimana mungkin juga jika dalam suatu sekolah hanya di ajarkan oleh satu atau dua orang guru, seperti yang terjadi di sekolah-sekolah yang ada di daerah pedalaman saat ini, Apakah para siswa bisa optimal dalam menerima pelajaran? Apakah mereka itu sama siapnya dengan siswa-siswi di sekolah favorit yang ada di kota besar dalam mengikuti UN?. Hal ini lah tampaknya yang belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah pusat. Saat ini pemerintah hanya bisa mematok nilai yang tinggi dalam UN tanpa pernah memikirkan dan memperhatikan aspek yang lain. Menurut penulis kalau pemerintah mau menyelenggarakan ujian nasional, standar kelulusan tidak boleh di samaratakan di seluruh indonesia, tetapi harus ada pembedaan antara daerah yang mutu pendidikannya rendah dengan sekolah yang mutu pendidikannya lebih baik/maju, agar tercipta keadilan dalam dunia pendidikan.
Kita semua tentu setuju dan mendukung langkah yang diambil oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di indonesia, tetapi tentu dengan cara yang bijaksana dan tidak menimbulkan masalah baru. Selama ini pernahkah pemerintah memikirkan akibat yang ditimbulkan dari pelaksanaan UN?, padahal Apabila kita bercermin pada pelaksanaan UN tahun-tahun sebelumnya, banyak permasalahan yang terjadi, misalnya banyak siswa yang mati bunuh diri gara-gara tidak lulus UN, banyak siswa yang stres dan tertekan, banyak pahlawan yang namanya Guru digrebek oleh polisi gara-gara guru dituduh membocorkan soal UN kepada anak didik. Dan masih banyak masalah-masalah lain berkaitan dengan pelaksanaan UN.
Kini pelaksanaan UN tahun 2009 sudah diambang pintu, para siswa sudah mulai sibuk mempersiapkan diri, berbagi cara telah dilakukan oleh para siswa mulai dari les, tes dan bimbingan belajar lainnya. siang malam tak sempat tidur nyenyak, siswa yang akan menempuhnya terasa pusing, was-was dan cemas, bagaimana tidak, bayangkan saja jerih payah selam 3 tahun berjuang, nasib mereka hanya di tentukan dengan hitungan jam saja oleh kebijakan pemerintah yang namanya UN. Pelaksanaan UN banyak menelan korban dan biaya, bayangkan saja berapa ratus ribu nantinya siswa SLTP tidak bisa melanjutkan ke SLTA, dan sebaliknya juga para siswa SLTA tidak bisa masuk keperguruan tinggi, terutama para siswa yang tinggal di daerah pedalaman, gara-gara mereka tidak lulus UN. Mereka telah kehilangan kesempatan untuk meraih cita-cita dan masa depan yang lebih baik, para siswa yang ada di sekolah pedalaman kalah bersaingan dengan siswa yang memiliki fasilitas lengkap dalam belajar, terutama sekolah yang ada di kota. Sungguh menyakitkan, ternyata kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan UN hanya dapat menciptakan ketidakadilan dalam dunia pendidikan.